BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Balakang Masalah
Tasawuf merupakan salah satu fenomena dalam Islam yang
memusatkan perhatian pada pembersihan aspek rohani manusia, yang selanjutnya
menimbulkan akhlak mulia. Melalui tasawuf ini seseorang dapat mengetahui
tentang cara-cara melakukan pembersihan diri serta mengamalkan secara benar.
banyak pengertian tasawuf yang dirumuskan oleh ulama tasawuf, tetapi tidak
mencakup pengertian tasawuf secara menyeluruh. defenisi tasawuf yang dirumuskan
oleh ulama tasawuf, tetapi tidak mencakup pengertian tasawuf secara menyeluruh.
Tinjauan analitis terhadap tasawuf menunjukkan bahwa para
sufi dengan berbagai aliran yang dianutnya memiliki suatu konsepsi tentang
jalan (thariqat) menuju Allah. Jalan ini dimulai dengan latihan-latihan
rohaniah (riyadah), lalu secara bertahap menempuh berbagai fase, yang
dikenal dengan maqam (tingkatan) dan hal(keadaan), dan berakhir dengan mengenal (ma’rifat) kepada
Allah. Tingkat pengenalan (ma’rifat) menjadi jargon yang umumnya banyak
dikejar oleh para sufi. Kerangka sikap dan perilaku sufi diwujudkan melalui
amalan dan metode tertentu yang disebut thariqat, atau jalan untuk menemukan pengenalan (ma’rifat) Allah.
Lingkup perjalanan menuju Allah untuk memperoleh pengenalan (ma’rifat)
yang berlaku di kalangan sufi sering disebut sebagai sebuah kerangka ‘Irfani.
Perjalanan menuju Allah merupakan metode pengenalan (ma’rifat)
secara rasa (rohaniah) yang benar terhadap Allah. Manusia tidak akan
tidak akan tahu banyak mengenai penciptanya apabila belum melakukan perjalanan
menuju Allah walaupun ia adalah orang yang beriman secara aqliyah. Hal ini
karena adanya perbedaan yang dalam antara iman secara aqliyah atau logis-teoritis (Al-Iman Al-aqli An-nazhari) dan iman
secara rasa (al-iman Asy-syu’uri Ad-dzauqi).
Lingkup ‘Irfani tidak dapat dicapai dengan
mudah atau secara spontanitas, tetapi melalui proses yang panjang. Proses yang
dimaksud adalah maqam-maqam(tingkatan atau stasiun) dan ahwal (jama’ dari hal). Dua persoalan ini harus
dilewati oleh orang yang berjalan menuju Tuhan.
Namun
perlu dicatat, maqam dan hal tidak dapat dipisahkan. Keduanya ibarat dua sisi dalam satu mata
uang. Keterkaitan antar keduanya dapat dilihat dalam kenyataan bahwa maqam menjadi prasyarat menuju Tuhan
dan dalam maqam akan
ditemukan kehadiran hal. Hal yang telah ditemukan dalam maqam akan mengantarkan seseorang untuk mendaki maqam-maqam selanjutnya. Untuk itu penulis
akan membahas tentang maqam dan ahwal dalam tasawuf.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan maqamat dan tahapan-tahapannya dalam tasawuf ?
2. Apa yang dimaksud dengan ahwal dan tahapan-tahapannya dalam tasawuf?
C. Tujuan
Pembahasan
1. Untuk mengetahui penjelasan dari maqamat dan tahapan-tahapannya dalam
tasawuf.
2. Untuk mngetahui penjelasan dari ahwal dan tahapan-tahapannya dalam
tasawuf.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Maqamat
Secara
harfiah, maqamat merupakan jamak dari kata maqam yang berarti tempat berpijak atau pangkat mulia. Dalam Bahasa
Inggris maqamat dikenal dengan istilah stages yang berarti tangga. Sedangkan dalam ilmu Tasawuf, maqamat berarti kedudukan hamba dalam
pandangan Allah berdasarkan apa yang telah diusahakan, baik melalui riyadhah, ibadah, maupun mujahadah. Di samping itu, maqamat berarti jalan panjang atau
fase-fase yang harus ditempuh oleh seorang sufi untuk berada sedekat mungkin
dengan Allah. Maqam dilalui seorang hamba melalui usaha yang sungguh-sungguh
dalam melakukan sejumlah kewajiban yang harus ditempuh dalam jangka waktu
tertentu. Seorang hamba tidak akan mencapai maqam berikutnya sebelum
menyempurnakan maqam sebelumnya.
Tentang
berapa jumlah tangga atau maqamat yang harus ditempuh oleh seorang sufi untuk
sampai menuju Tuhan, di kalangan para sufi tidak sama pendapatnya. Muhammad
al-Kalabazy dalam kitabnya al-Ta’arruf li Mazhab ahl
al-Tasawwuf, sebagai dikutip Harun Nasution
misalnya mengatakan bahwa maqamat itu jumlahnya ada sepuluh, yaitu al-taubah, al-zuhud, al-shabr, al-faqr, al-tawadlu’, al-taqwa,
al-tawakkal, al-ridla, al-mahabbah dan al-ma’rifah.
Sementara
itu Abu Nasr al-Sarraj al-Tusi dalam kitab al-Luma’ menyebutkan jumlah maqamat
hanya tujuh , yaitu al-taubah, al-wara’, al-zuhud,
al-faqr, al-tawakkal dan al-ridla.
Dalam pada
itu Imam al-Ghazali dalam kitabnya Ihya’ Ulum al-Dinmengatakan bahwa maqamat itu ada delapan, yaitu al-taubah, al-shabr,al-zuhud, al-tawakkal,al-mahabbah,
al-ma’rifah, dan al-ridla.
Kutipan
tersebut memperlihatkan keadaan variasi penyebutan maqamat yang berbeda-beda,
namun ada maqamat yang oleh mereka disepakati, yaitu al-taubah, al-zuhud, al-wara, al-faqr, al-shabr, al-tawakkal dan
al-ridla. Sedangkan al-tawaddlu, al-mahabbah, dan al-ma’rifah oleh mereka tidak disepakati sebagai maqamat. Terhadap tiga
istilah yang disebut terakhir itu (al-tawaddlu, al-mahabbah dan al-ma’rifah)
terkadang para ahli tasawuf menyebutnya sebagai maqamat, dan terkadang
menyebutnya sebagai hal dan ittihad (tercapainya kesatuan wujud rohaniah dengan
Tuhan). Untuk itu dalam uraian ini, maqamat yang akan dijelaskan lebih lanjut
adalah maqamat yang disepakati oleh mereka, yaitu al-taubah, al-zuhud, al-wara’, al-faqr, al-shabr, al-tawakkal,
dan al-ridla. Penjelasan atas masing-masing istilah tersebut dapat dikemukakan
sebagai berikut:
1.Taubat
Taubat
berasal dari Bahasa Arab taba-yatubu-taubatan yang berarti “kembali” dan “penyelesalan”. Sedangkan
pengertian taubat bagi
kalangan sufi adalah memohon ampun atas segala dosa yang disertai dengan
penyesalan dan berjanji dengan sungguh-sungguh untuk tidak mengulangi perbuatan
dosa tersebut dan dibarengi dengan melakukan kebajikan yang dianjurkan oleh
Allah.
Taubat
menurut Dzun Nun al-Misri dibedakan menjadi tiga tingkatan: (1) orang yang
bertaubat dari dosa dan keburukan, (2) orang yang bertaubat dari kelalaian
mengingat Allah dan (3) orang yang bertaubat karena memandang kebaikan dan
ketaatannya. Dari ketiga tingkatan taubat tersebut, yang dimaksud sebagai maqam dalam tasawuf adalah upaya
taubat, karena merasakan kenikmatan batin.
Bagi orang
awam, taubat dilakukan dengan membaca astagfirullah wa atubu ilaihi. Sedangkan bagi orang khawash taubat dilakukan dengan riyadhahdan mujahadah dalam rangka membuka hijab yang membatasi dirinya dengan Allah
swt. Taubat ini dilakukan para sufi hingga mampu menggapai maqam yang lebih tinggi.
Lain
halnya dengan Ibnu Taimiyah. Ia membedakan taubat menjadi dua: taubat wajib dan
taubat sunnah. Taubat wajib adalah taubat karena menyesali perbuatan
meninggalkan perkara-perkara wajib, atau menyesal karena melakukan
perkara-perkara haram. Sedangkan taubat sunnah adalah taubat karena menyesali
perbuatan meninggalkan perkara-perkara sunnah, atau karena menyesali perbuatan
melakukan perkara-perkara makruh. Berkaitan dengan dua macam taubat ini, Ibnu
Taimiyah menjelaskan tingkatan/derajat orang yang bertaubat menjadi dua.
Pertama, al-abrar al-muqtashidun (orang-orang yang berbakti lagi pertengahan), yaitu orang-orang
yang melakukan jenis taubat yang pertama, yaitu taubat wajib. Kedua, as-sabiqun al-awwalun. Mereka adalah orang yang
melakukan jenis taubat wajib dan taubat sunnah.
Taubat seperti
dijelaskan oleh Imam Ghazali dalam kitabnya "Ihya ulumuddin" adalah
sebuah makna yang terdiri dari tiga unsur: ilmu, hal dan amal. Ilmu adalah
unsur yang pertama, kemudian yang kedua hal, dan ketiga amal. Ia berkata: yang
pertama mewajibkan yang kedua, dan yang kedua mewajibkan yang ketiga.
Berlangsung sesuai dengan hukum (ketentuan) Allah SWT yang berlangsung dalam
kerajaan dan malakut-Nya.
Ia
berkata: "Sedangkan ilmu adalah, mengetahui besarnya bahaya dosa, dan ia
adalah penghalang antara hamba dan seluruh yang ia senangi. Jika ia telah
mengetahui itu dengan yakin dan sepenuh hati, pengetahuannya itu akan
berpengaruh dalam hatinya dan ia merasakan kepedihan karena kehilangan yang dia
cintai. Karena hati, ketika ia merasakan hilangnya yang dia cintai, ia akan
merasakan kepedihan, dan jika kehilangan itu diakibatkan oleh perbuatannya,
niscaya ia akan menyesali perbuatannya itu. Dan
perasaan pedih kehilangan yang dia cintai itu dinamakan penyesalan. Jika
perasaan pedih itu demikian kuat berpengaruh dalam hatinya dan menguasai
hatinya, maka perasaan itu akan mendorong timbulnya perasaan lain, yaitu tekad
dan kemauan untuk mengerjakan apa yang seharusnya pada saat ini, kemarin dan
akan datang. Tindakan yang ia lakukan saat ini adalah meninggalkan dosa yang
menyelimutinya, dan terhadap masa depannya adalah dengan bertekad untuk
meninggalkan dosa yang mengakibatkannya kehilangan yang dia cintai hingga
sepanjang masa. Sedangkan masa lalunya adalah dengan menebus apa yang ia
lakukan sebelumnya, jika dapat ditebus, atau menggantinya.
Yang pertama
adalah ilmu. Dialah pangkal pertama seluruh kebaikan ini. Yang aku maksudkan
dengan ilmu ini adalah keimanan dan keyakinan. Karena iman bermakna pembenaran
bahwa dosa adalah racun yang menghancurkan. Sedangkan yakin adalah penegasan
pembenaran ini, tidak meragukannya serta memenuhi hatinya. Maka cahaya iman
dalam hati ini ketika bersinar akan membuahkan api penyesalan, sehingga hati
merasakan kepedihan. Karena dengan cahaya iman itu ia dapat melihat bahwa saat
ini, karena dosanya itu, ia terhalang dari yang dia cintai. Seperti orang yang
diterangi cahaya matahari, ketika ia berada dalam kegelapan, maka cahaya itu
menghilangkan penghalang penglihatannya sehingga ia dapat melihat yang dia
cintai. Dan ketika ia menyadari ia hampir binasa, maka cahaya cinta dalam
hatinya bergejolak, dan api ini membangkitkan kekuatannya untuk menyelamatkan
dirinya serta mengejar yang dia cintai itu.
Ilmu dan
penyesalan, serta tekad untuk meninggalkan perbuatan dosa saat ini dan masa
akan datang, serta berusaha menutupi perbuatan masa lalu mempunyai tiga makna
yang berkaitan dengan pencapaiannya itu. Secara keseluruhan dinamakan taubat.
Banyak pula taubat itu disebut dengan makna penyesalan saja. Ilmu akan dosa itu
dijadikan sebagai permulaan, sedangkan meninggalkan perbuatan dosa itu sebagai
buah dan konsekwensi dari ilmu itu. Dari itu dapat dipahami sabda Rasulullah
Saw : " Penyesalan adalah taubat" (Hafizh al 'Iraqi dalam takhrij
hadits-hadits Ihya Ulumuddin berkata: hadits ini ditakhrijkan oleh Ibnu Majah,
Ibnu Hibban, dan al Hakim. Serta ia mensahihkan sanadnya dari hadits Ibnu
Mas'ud. Dan diriwayakan pula oleh Ibnu Hibban dan Al Hakim dari hadits Anas
r.a. dan ia berkata: hadits ini sahih atas syarat Bukhari dan Muslim), karena
penyesalan itu dapat terjadi dari ilmu yang mewajibkan serta membuahkan
penyesalan itu, dan tekad untuk meninggalkan dosa sebagai konsekwensinya. Maka
penyesalan itu dipelihara dengan dua cabangnya, yaitu buahnya dan apa yang
membuahkannya.
Berkaitan
dengan maqam taubat, dalam al-Qur’an
terdapat banyak ayat yang menjelaskan masalah ini, di antaranya adalah ayat
yang berbunyi:
Artinya: Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji
atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun
terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari
pada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka
mengetahui.(Ali Imron: 135).
Artinya:
...dan bertaubatlah kamu sekalian
kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.(An-Nur:
31)
2. Zuhud
Secara
etimologis, zuhud berarti ragaba ‘ansyai’in wa tarakahu, artinya tidak tertarik terhadap sesuatu dan meninggalkannya. Zuhada fi al-dunya, berarti mengosongkan diri dari kesenangan
dunia untuk ibadah.
Menurut
pandangan orang-orang sufi, dunia dan segala kemewahan, serta kelezatannya
adalah sumber kemaksiatan dan penyebab terjadinya perbuatan-perbuatan dosa.
Oleh karena itu, seorang pemula atau calon sufi harus terlebih dahulu menjadi zahid. Sikap zuhd ini erat hubungannya dengan taubah, sebabtaubah tidak akan berhasil apabila hati dan keinginannya masih terkait
kepada kesenangan duniawi.
Mengenai
pengertian zuhd ini terdapat berbagai variasi. Al-Junaidi berkata: “Zuhd ialah keadaan jiwa yang kosong dari rasa memiliki dan ambisi
menguasai.” Ali bin Abi Talib ketika ditanya tentang zuhd, menjawab: “Zuhd berarti tidak peduli, siapa yang memanfaatkan benda-benda duniawi
ini, baik seorang yang beriman atau tidak.” Dan al-Syibli ketika ditanya
tentang zuhd, berkata:
“Dalam kenyataannya zuhd itu tidak ada. Jika seseorang bersikap zuhd pada sesuatu yang tidak menjadi
miliknya, maka itu bukan zuhd, dan jika seseorang bersikap zuhdpada sesuatu yang menjadi miliknya, bagaimana bisa dikatakan bahwa
itu zuhd,sedangkan sesuatu itu masih ada
padanya dan dia masih memilikinya? Zuhdberarti menahan nafsu, bermurah hati dan berbuat kebaikan.” Hal
ini seakan-akan mengisyaratkan bahwa dia mengartikan zuhd sebagai tindakan meninggalkan
sesuatu yang tidak menjadi miliknya. Dan jika sesuatu itu tidak menjadi milik
seseorang, maka tidak dapat dikatakan bahwa orang itu meninggalkannya, sebab
sesuatu memang telah tertinggalkan, sedangkan jika sesuatu itu menjadi milik
seseorang, maka tidak mungkin orang itu meninggalkannya. Namun, betapapun
bervariasinya pengertian yang diberikan, tekanan utama pada sikap zuhd adalah mengurangi keinginan
terhadap kehidupan duniawi.
Untuk
lebih memperjelas pengertian pengertian dan rumusan zuhd di atas, masih dirasa perlu
untuk mencantumkan beberapa pengertian lagi. Zuhd menurut Ibn Qudamah
al-Muqaddasi ialah “pengalihan keinginan dari sesuatu kepada sesuatu yang lebih
baik.” Menurut Imam Al-Ghazali, “zuhd ialah mengurangi keinginan kepada dunia dan menjauh daripadanya
dengan penuh kesadaran dan dalam hal yang mungkin dilakukan.” Imam al-Qusyairi
mengatakan, “zuhd ialah tidak merasa bangga
dengan kemewahan dunia yang telah ada di tangannya dan tidak merasa bersedih
dengan hilangnya kemewahan tadi dari tangannya.
Berkaitan
dengan konsep zuhud, dalam al-Qur’an terdapat ayat yang menjelaskan hal itu, di
antaranya:
Artinya:
Katakanlah: "Kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih
baik untuk orang-orang yang bertakwa, dan kamu tidak akan dianiaya sedikitpun. (An-Nisa’:
77).
Artinya: Dan Tiadalah kehidupan dunia ini, selain dari main-main dan
senda gurau belaka. dan sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang
yang bertaqwa. Maka tidakkah kamu memahaminya?(Al-An’am:
32).
Ayat-ayat
di atas secara singkat menjelaskan bahwa kehidupan dunia yang kita rasakan
hanyalah sesaat dan suatu saat akan lenyap dan musnah dalam seketika,
dibandingkan dengan kehidupan akhirat yaitu kehidupan yang ditempuh sesudah
kita mati merupakan alam yang kekal dan abadi dan merupakan kehidupan yang
lebih baik daripada kehidupan dunia.
Zuhud
berdasarkan maksudnya dibagi menjadi tiga tingkatan. Pertama, zuhud menjauhkan
dunia agar terhindar dari hukuman akhirat. Kedua, zuhud menjauhi dunia dengan
mengharap imbalan di akhirat. Ketiga, zuhud meninggalkan kesenangan dunia bukan
karena berharap atau takut, akan tetapi karena kecintaan terhadap Allah semata.
Pada tingkatan ketiga inilah yang mampu membukakan tabir antara seorang hamba
dan Allah.
Selain
ketiga zuhud tersebut, al-Ghazali juga mengklasifikasikan zuhud menjadi
beberapa tingkatan, yaitu:
a. Zuhud yang dikaitkan dengan jiwa orang yang berzuhud. Tingkatan
ini dibedakan kembali menjadi tiga bagian berdasarkan kuat lemahnya zuhud,
yaitu:
1) As-sufla, yaitu derajat zuhud yang paling
rendah, dimana orang meninggalkan kemewahan dunia tetapi sebenarnya hatinya
masih cenderung dan menginginkannya.
2) Derajat zuhud orang yang meninggalkan kemewahan dunia secara
sukarela, karena ia melihat dunia sebagai kehinaan.
3) A-‘Ulya, yaitu derajat yang paling
tinggi. Maksudnya, di sini adalah menjauhi kemewahan dunia secara sukarela,
karena ia melihat dunia tidak mempunyai nilai apa-apa dan tidak sepadan dengan
sesuatu apapun.
b. Zuhud yang dikaitkan dengan sesuatu yang dicintai. Zuhud ini
dibagi menjadi tiga bagian, yaitu:
1) Zuhudnya orang takut, dimana seorang hamba melakukan zuhud
dikarenakan takut akan siksa neraka, azab kubur dan lain-lain.
2) Zuhud orang yang mengharapkan pahala, nikmat Allah dan kelezatan
yang telah dijanjikan di dalam surga.
3) Derajat yang tertinggi, yaitu zuhudnya para arif di mana zuhud
mereka bukan dikarenakan suatu apapun selain Allah, tetapi hanya ingin berjumpa
dengan Allah.
c. Zuhud yang dikaitkan dengan sesuatu yang harus ditinggalkan.
Tingkatan ini dibagi menjadi:
1) Meninggalkan sesuatu selain Allah.
2) Meninggalkan segala sesuatu yang dikarenakan nafsu, seperti marah,
sombong, pangkat, harta, dan lain-lain.
d. Zuhud dengan meninggalkan harta, pangkat dan segala sesuatu yang
menyebabkan seseorang mendapatkannya. Meninggalkan dirham, pangkat, dan segala
kesenangan dunia.
3. Sabar
Sabar,
secara harfiah , berarti tabah hati. Secara terminologi, sabar adalah suatu
keadaan jiwa yang kokoh, stabil dan konsekuen dalam pendirian. Sedangkan
menurut pandangan Dzun Nun al-Misri, sabar berarti menjauhkan diri dari hal-hal
yang bertentangan dengan kehendak Allah, tetap tenang ketika mendapat cobaan
dan menampakkan sikap cukup, walaupun sebenarnya berada dalam kefakiran.
Berdasarkan pengertian di atas, maka sabar erat hubungannya dengan pengendalian
diri, pengendalian sikap dan pengendalian emosi. Oleh sebab itu, sikap sabar
tidak bisa terwujud begitu saja, akan tetapi harus melalui latihan yang
sungguh-sungguh.
Sabar,
menurut Al-Ghazali, jika dipandang sebagai pengekangan tuntutan nafsu dan
amarah, dinamakan sebagai kesabaran jiwa (ash-shabr an-nafs), sedangkan
menahan terhadap penyakit fisik, disebut sebagai sabar badani (ash-shabr
al-badani). Kesabaran jiwa sangat dibutuhkan dalam berbagai aspek.
Misalnya, untuk menahan nafsu makan dan seks yang berlebihan.
4. Wara’
Wara’, secara
harfiah, berarti saleh, menjauhkan diri dari perbuatan dosa atau maksiat.
Sedangkan pengertian wara’ dalam pandangan sufi adalah meninggalkan segala sesuatu yang tidak
jelas hukumnya, baik yang menyangkut makanan, pakaian, maupun persoalan
lainnya. Menurut Qamar Kailani yang dikutip oleh Rivay A. Siregar, wara’ dibagi menjadi dua: wara’ lahiriyah danwara’ batiniyah. Wara’ lahiriyah adalah tidak mempergunakan segala yang masih diragukan
dan meninggalkan kemewahan, sedangkan wara’ batiniyah adalah tidak menempatkan atau
mengisi hati kecuali dengan mengingat Allah. Dalam kitab Al-Luma’ dijelaskan bahwa orang-orang wara’ dibagi menjadi tiga tingkatan.
Pertama, wara’ orang
yang menjauhkan diri dari syubhat. Kedua, wara’ orang yang menjauhkan diri dari
sesuatu yang menjadi keraguan hati dan ganjalan di dada. Ketiga, wara’ orang arif yang sanggup
menghayati dengan hati nurani.
5. Faqr
Secara
harfiah fakir biasanya diartikan sebagai orang yang berhajat, butuh atau orang
miskin. Sedangkan dalam pandangan sufi fakir adalah tidak meminta lebih dari
apa yang telah ada pada diri kita. Tidak meminta rezeki kecuali hanya
untuk menjalankan kewajiban-kewajiban. Tidak meminta sungguhpun tak ada pada
diri kita, kalau diberi diterima. Tidak meminta tetapi tidak menolak.
6. Tawakkal
Secara
harfiah tawakkal berarti menyerahkan diri. Menurut Sahal bin Abdullah bahwa awalnya
tawakkal adalah apabila seorang hamba di hadapan Allah seperti bangkai di
hadapan orang yang memandikannya, ia mengikuti semaunya yang memandikan, tidak
dapat bergerak dan bertindak. Hamdun al-Qashshar mengatakan tawakkal adalah
berpegang teguh pada Allah.
Al-Qusyairi
lebih lanjut mengatakan bahwa tawakkal tempatnya di dalam hati, dan timbulnya
gerak dalam perbuatan tidak mengubah tawakkal yang terdapat dalam hati itu. Hal
itu terjadi setelah hamba meyakini bahwa segala ketentuan hanya didasarkan pada
ketentuan Allah. Mereka menganggap jika menghadapi kesulitan maka yang demikian
itu sebenarnya takdir Allah.
Pengertian
tawakkal yang demikian itu sejalan pula dengan yang dikemukakan Harun Nasution.
Ia mengatakan tawakkal adalah menyerahkan diri kepada qada dan keputusan Allah.
Selamanya dalam keadaan tenteram, jika mendapat pemberian berterima kasih, jika
mendapat apa-apa bersikap sabar dan menyerah kepada qada dan qadar Tuhan. Tidak
memikirkan hari esok, cukup dengan apa yang ada untuk hari ini. Tidak mau
makan, jika ada orang lain yang lebih berhajat pada makanan tersebut daripada
dirinya. Percaya kepada janji Allah. Menyerah kepada Allah dengan Allah dan
karena Allah.
7. Ridha
Ridha,
secara harfiah, berarti rela, senang dan suka. Sedangkan pengertiannya secara
umum adalah tidak menentang qadha dan qadar Allah, menerima qadha dan qadar dengan hati senang. Mengeluarkan perasaan benci dari hati sehingga
yang tinggal di dalamnya hanya perasaan senang dan gembira. Merasa senang
menerima malapetaka sebagaimana merasa senang menerima nikmat. Tidak meminta
surga dari Allah dan tidak meminta dijauhkan dari neraka. Sikap ridha ini
merupakan kelanjutan rasa cinta atau perpaduan dari mahabbahdan sabar. Rasa cinta yang
diperkuat dengan ketabahan akan menimbulkan kelapangan hati dan kesediaan yang
tulus untuk berkorban dan berbuat apa saja yang diperintahkan oleh Allah Swt.
Menurut
Abdullah bin Khafif, ridha dibagi menjadi dua macam: ridha dengan Allah dan
ridha terhadap apa yang datang dari Allah. Ridha dengan Allah berarti bahwa
seorang hamba rela terhadap Allah sebagai pengatur jagad raya seisinya,
sedangkan ridha terhadap apa yang datang dari Allah yaitu rela terhadap apa
saja yang telah menjadi ketetapan Allah Swt.
8. Mahabbah
Mahabbah berasal
dari kata ahabba-yuhibbu-mahabbatan yang berarti mencintai secara mendalam. Mahabbah pada tingkatan selanjutnya
dapat diartikan suatu usaha sungguh-sungguh dari seseorang untuk mencapai tingkat rohaniah tertinggi dengan
terwujudnya kecintaan yang mendalam kepada Allah. Berkaitan dengan konsep mahabbah, Rabi’ah al-Adawiyah adalah
peletak dasar mahabbahini. Mahabbah dalam pandangan Rabi’ah adalah cinta abadi kepada Allah yang
melebihi cinta kepada siapa pun dan apapun. Cinta abadi yang tidak takut kepada
apa saja, bahkan neraka sekalipun. Sebagaimana dalam syair Rabi’ah yang
berbunyi:
“Kujadikan
Engkau teman percakapan hatiku, Tubuh kasarku biar bercakap dengan insani,
Jasadku biar bercengkrama tulangku, Isi hatiku tetap pada-Mu jua.”
Menurut
Rabi’ah al-Adawiyah, Allah adalah salah satu yang seharusnya dicintai dan
Dialah tujuan akhir dalam pencarian cinta yang abadi. Untuk menggapai kecintaan
Ilahi, maka seorang sufi harus melatih dirinya untuk mencintai segala keindahan
alam seisinya. Karena keindahan adalah ciri dari zat yang dicintai. Bagi
Rabi’ah, rasa cinta kepada Allah menjadi salah satu motivasi dalam setiap
perilakunya dan sekaligus merupakan tujuan pengabdiannya kepada Allah. Rabi’ah
al-Adawiyah mengatakan; “Aku mencintai-Mu dengan dua dorongan cinta, cinta-rindu,
karena aku menginginkan-Nya dan cinta karena Engkau patut mendapatkannya.
Cinta-rindu menenggelamkan diriku untuk selalu mengingat dan menyebut-Mu. Cinta
rindu membuatku lupa dengan orang yang selain yang kucinta, sedangkan cinta
karena Engkau pantas dicintai adalah keterbukaan-Mu dari tirai penghalang
sehingga aku dapat melihat-Mu dengan terang benderang. Aku tak pantas
mendapatkan pujian untuk cinta pertama dan cinta kedua, tetapi segala puji
untuk-Mu belaka pada cinta pertama dan cinta kedua.
Dalam
pandangan Ath-Thusi, mahabbah dibagi menjadi tingkatan. Pertama, mahabbah al-‘ammah, yaitu cinta yang timbul dari
belas kasihan dan kebaikan Allah kepada hamba-Nya. Kedua, hubb ash-shadiqin wa al-muttaqin,yaitu cinta yang timbul dari pandangan hati sanubari terhadap
kebesaran, keagungan, kemahakuasaan, ilmu dan kekayaan Allah. Ketiga, mahabbah ash-shidiqin wa al-‘arifin, yaitu mahabbah yang timbul dari penglihatan dan ma’rifatpara sufi terhadap kekalnya
kecintaan Allah yang tanpa ‘illat. Adapun tanda-tanda cinta seorang hamba terhadap Allah di antaranya
adalah:
a. Senang bertemu dengan kekasihnya (Allah) dengan cara saling
membuka rahasia dan saling melihat satu sama lain.
b. Melakukan segala hal yang disenangi kekasihnya. Atas nama cinta kepada
Allah, rela menjalankan kewajiban yang diperintahkan.
c. Senantiasa berzikir menyebut nama-Nya.
d. Merasa tenang dan damai tatkala bermunajat dengan Allah dan
membaca kitab-Nya.
e. Tidak merasa gundah jika kelihangan sesuatu selain Allah dan
merasa gundah jika waktunya terlewatkan tanpa mengingat Allah.
f. Merasa nikmat saat menjalankan perintah Allah dan tidak menganggap
perintah itu sebagai beban.
g. Menyanyangi semua hamba Allah, berperilaku tegas kepada semua
musuh Allah.
9. Ma’rifat
Ma’rifat
berasal dari kata ‘arafa-ya’rifu-irfan-ma’rifat yang berarti pengetahuan atau
pengalaman. Ma’rifat dapat pula berarti pengetahuan rahasia hakikat agama,
yaitu ilmu yang lebih tinggi daripada ilmu yang didapat pada umumnya, dan
merupakan pengetahuan yang objeknya bukan hal-hal yang bersifat zhahir, tetapi
bersifat batin, yaitu pengetahuan mengenai rahasia-rahasia Tuhan melalui
pancaran cahaya Ilahi. Adapun alat untuk memperoleh ma’rifat bersandar pada
sir, qalb, dan ruh. Qalb yang telah suci akan dipancari cahaya Ilahi dan akan
dapat mengetahui segala rahasia Tuhan. Pada saat itulah, seorang sufi sampai
pada tingkatan ma’rifat. Dengan demikian, ma’rifat berhubungan dengan nur Ilahi
dan berkaitan dengan nur Ilahi. Dalam al-Qur’an terdapat beberapa kata nur yang
dihubungkan dengan Allah. Di antaranya adalah:
Ma’rifat
dalam pandangan al-Ghazali adalah mengetahui rahasia Allah tentang segala yang
ada. Al-Ghazali dalam Ihya’ ‘Ulum ad-Din membedakan jalan pengetahuan sampai kepada
Tuhan antara orang awam, ulama dan sufi. Bagi orang awam, keyakinan akan
pengetahuan tentang Allah dibangun atas dasar taqlid, yaitu hanya mengikuti
perkataan orang lain tanpa menyelidikinya.
Bagi
ulama, keyakinan akan Allah dibangun atas dasar pembuktian. Bagi sufi,
keyakinan akan Allah dibangun atas dasar dzauq rohani dan kasyaf Ilahi.
Ma’rifat dalam pandangan Dzun Nun al-Misri adalah pengetahuan hakiki tentang
Tuhan. Menurutnya, ma’rifat hanya terdapat pada kaum sufi yang sanggup melihat
Allah dengan hati sanubari mereka. Ma’rifat dipancarkan ke hati para sufi
dengan pancaran cahaya suci Ilahi.
Ma’rifat
menurut Syeikh Ibnu Athaillah As-Sakandari, siapapun yang merenung secara
mendalam akan menyadari bahwa semua makhluk sebenarnya menauhidkan Allah SWT
lewat tarikan nafas yang halus. Jika tidak, pasti mereka akan mendapat siksa.
Pada setiap zarah, mulai dari ukuran sub-atomis (kuantum) sampai atomis, yang
terdapat di alam semesta terdapat rahasia nama-nama Allah. Dengan rahasia
tersebut, semuanya memahami dan mengakui keesaan Allah. Allah SWT telah
berfirman,
Artinya: Hanya
kepada Allah-lah sujud (patuh) segala apa yang di langit dan di bumi, baik
dengan kemauan sendiri atau pun terpaksa (dan sujud pula) bayang-bayangnya di
waktu pagi dan petang hari (QS Ar-Ra’d:15).
Jadi,
semua makhluk mentauhidkan Allah dalam semua kedudukan sesuai dengan rububiyah
Tuhan serta sesuai dengan bentuk-bentuk ubudiyah yang telah ditentukan dalam
mengaktualisasikan tauhid mereka. Lebih lanjut Syeikh mengatakan bahwa sebagian
ahli makrifat berpendapat bahwa orang yang bertasbih sebenarnya bertasbih
dengan rahasia kedalaman hakikat kesucian pikirannya dalam wilayah keajaiban
alam malakut dan kelembutan alam jabarut.
Sementara
sang salik, bertasbih dengan dzikirnya dalam lautan qolbu. Sang murid bertasbih
dengan qolbunya dalam lautan pikiran. Sang Pecinta bertasbih dengan ruhnya
dalam lautan kerinduan. Sang Arif bertasbih dengan sirr-nya dalam lautan alam
gaib. Dan orang shiddiq bertasbih dengan kedalaman sirr-nya dalam rahasia
cahaya yang suci yang beredar di antara berbagai makna Asmaasma dan
Sifat-sifat-Nya disertai dengan keteguhan di dalam silih bergantinya waktu. Dan
dia yang hamba Allah bertasbih dalam lautan pemurnian dengan
kerahasian sirr-al-Asrar dengan memandang-Nya, dalam kebaqaan-Nya.[18]
B. Ahwal
Secara
bahasa, ahwal merupakan jamak dari kata tunggal hal yang berarti keadaan sesuatu
(keadaan rohani). Menurut Syeikh Abu Nashr as-Sarraj, hal adalah sesuatu yang terjadi
secara mendadak yang bertempat pada hati nurani dan tidak mampu bertahan lama,
sedangkan menurut al-Ghazali, hal adalah kedudukan atau situasi kejiwaan yang dianugerahkan Allah
kepada seseorang hamba pada suatu waktu, baik sebagai buah dari amal saleh yang
mensucikan jiwa atau sebagai pemberian semata. Sehubungan dengan ini, Harun
Nasution mendefinisikan halsebagai keadaan mental, seperti perasaan senang, persaan sedih,
perasaan takut, dan sebagainya.
Jika
berpijak dari beberapa pendapat para sufi di atas, maka tidak ada perbedaan,
yang pada intinya, hal adalah keadaan rohani seorang hamba ketika hatinya telah bersih
dan suci. Hal berlainan dengan maqam, hal tidak menentu datangnya,
terkadang datang dan perginya berlangsung cepat, yang disebut lawaihdan ada pula yang datang dan
perginya dalam waktu yang lama, yang disebutbawadih. Jika maqam diperoleh melalui usaha, akan tetapi hal bukan diperoleh melalui usaha,
akan tetapi anugerah dan rahmat dari Tuhan. Maqam sifatnya permanen, sedangkan hal sifatnya temporer sesuai
tingkatan maqamnya.Sebagaimana halnya dengan maqamat, dalam penentuan hal juga terdapat perbedaan
pendapat di kalangan sufi. Adapun al- hal yang paling banyak disepakati
adalah al-muraqabah, al-khauf, ar-raja’,
ath-thuma’ninah, al-musyahadah, dan al-yaqin.Penjelasan tentang ahwal tersebut adalah sebagai
berikut:
1. Muraqabah
Muraqabah
artinya merasa selalu diawasi oleh Allah SWT sehingga dengan kesadaran ini
mendorong manusia senantiasa rajin melaksanakan perintah dan menjauhi
larangan-Nya.
Sesungguhnya
manusia hakikinya selalu berhasrat dan ingin kepada kebaikan dan menjunjung
nilai kejujuran dan keadilan, meskipun tidak ada orang yang melihatnya.
Kehati-hatian
(mawas diri) adalah kesadaran. Kesadaran ini makin terpelihara dalam diri
seseorang hamba jika meyakini bahwa Allah SWT senantiasa melihat dirinya.
Syeikh
Ahmad bin Muhammad Ibnu Al Husain Al Jurairy mengatakan, “Jalan kesuksesan itu
dibangun di atas dua bagian. Pertama, hendaknya engkau memaksa jiwamu muraqabah
(merasa diawasi) oleh Allah SWT. Kedua, hendaknya ilmu yang engkau miliki
tampak di dalam perilaku lahiriahmu sehari-hari”.
2. Khauf
Khauf
adalah suatu sikap mental yang merasa takut kepada Allah karena kurang sempurna
pengabdianya. Takut dan kawatir kalau Allah tidak senang kepadanya. Menurut Ghozali Khauf adalah rasa sakit dalam hati karena khawatir
akan terjadi sesuatu yang tidak disenagi dimasa sekarang.
Menurut al
Ghozali Khauf terdiri dari tiga tingkatan atau tiga derajat, diantaranya
adalah:
a. Tingkatan Qashir (pendek), Yaitu khauf seperti kelembutan perasaan
yang dimiliki wanita, perasaan ini seringkali dirasakan tatkala mendengarkan
ayat-ayat Allah dibaca.
b. Tingkatan Mufrith (yang berlebihan), yaitu khauf yang sangat kuat
dan melewati batas kewajaran dan menyebabkan kelemahan dan putus asa, khauf
tingkat ini menyebabkan hilangya kendali akal dan bahkan kematian, khauf ini
dicela karena karena membuat manusia tidak bisa beramal.
c. Tingkatan Mu’tadil (sedang), yaitu tingkatan yang sangat terpuji,
ia berada pada khauf qashir dan mufrith.
Rasulullah
SAW bersabda: "Apabila tubuh hamba menggigil karena takut kepada Allah
SWT, dosa-dosanya berguguran seperti daun-daun yang berguguran dari
pohon".
Abû
al-Layts r.a. berkata, "Allah memiliki para malaikat di langit ketujuh.
Mereka bersujud sejak Allah menciptakan mereka hingga hari kiamat. Mereka
menggigil ketakutan karena takut kepada Allah SWT Apabila hari kiamat tiba,
mereka mengangkat kepala dan berkata, Mahasuci Engkau, kami menyembah-Mu dengan
penyembahan yang sebenar-benarnya".
Itulah
firman Allah SWT: Mereka takut kepada Tuhan mereka yang di atas mereka dan
melaksanakan apa yang diperintahkan (QS. an-Nahl [16]: 50). Yakni, mereka tidak
berbuat maksiat kepada Allah sekejap mata pun.
Rasulullah
SAW bersabda, "Apabila tubuh hamba menggigil karena takut kepada Allah
SWT, dosa-dosanya berguguran seperti daun-daun yang berguguran dari
pohon." Dikisahkan bahwa seorang laki-laki tertambat hatinya kepada
seorang perempuan. Perempuan itu keluar untuk suatu keperluan. Laki-laki itu
ikut pergi bersamanya. Ketika mereka berduaan di padang sahara, sementara orang
lain sudah tertidur, laki-laki itu mengungkapkan isi hatinya kepada perempuan
tersebut: Perempuan itu berkata,"Lihatlah, semua orang sudah tertidur.” Laki-laki
itu senang mendengar kata-kata itu.
Dia
mengira bahwa perempuan itu telah memberikan jawaban kepadanya. Lalu, dia
berdiri dan mengelilingi kafilah. Dia mendapati orang-orang sudah tertidur.
Lalu, dia kembali kepada perempuan itu dan berkata, "Benar, mereka telah
tidur." Namun, perempuan itu bertanya, "Apa pendapatmu tentang Allah,
apakah Dia tidur pada saat ini?" Laki-laki itu menjawab, "Allah SWT
tidak tidur. Dia tidak pernah terserang kantuk dan tidur". Perempuan itu
berkata, "Zat yang tidak tidur dan tidak akan tidur selalu melihat kita
walaupun orang lain tidak melihat kita. Karena itu, Allah lebih pantas untuk
ditakuti." Akhirnya, laki-laki itu pun meninggalkan perempuan tadi
karena takut kepada Sang Pencipta. Dia bertobat dan kembali ke kampung
halamannya. Ketika dia meninggal, orang-orang bemimpi melihatnya. Ditanyakan
kepadanya, "Apa tindakan Allah kepadamu?" Dia menjawab, "Dia
mengampuniku karena ketakutanku itu. Dengan demikian, terhapuslah dosa
tersebut."
3. Raja’
Raja’ dapat
berarti berharap atau optimisme, yaitu perasaan senang hati karena menanti
sesuatu yang diinginkan dan disenangi. Raja’ atau optimisme ini telah ditegaskan dalam al-Qur’an:
Artinya:
“Sesungguhnya orang-orang yang
beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu
mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.(Al-Baqarah:
218).
Orang yang
harapan dan penantiannya mendorongnya untuk berbuat ketaatan dan mencegahnya
dari kemaksiatan, berarti harapannya benar. Sebaliknya, jika harapannya hanya
angan-angan, semenatara ia sendiri tenggelam dalam lembah kemaksiatan,
harapannya sia-sia.
Raja’ menurut tiga perkara, yaitu:
a. Cinta kepada apa yang diharapkannya.
b. Takut bila harapannya hilang.
c. Berusaha untuk mencapainya.
raja’ yang tidak
dibarengi dengan tiga perkara itu hanyalah ilusi atau hayalan. Setiap orang yang
berharap adalah juga orang yang takut (khauf). Orang yang berharap untuk
sampai di suatu tempat tepat waktunya, tentu ia takut terlambat. Dan karena
takut terlambat, ia mempercepat jalannya. Begitu pula orang yang mengharap rida
atau ampunan Tuhan, diiringi pula dengan rasa takut akan siksaan Tuhan.
4. Thuma’ninah
Thuma’ninah
adalah rasa tenang, tidak ada rasa was-was atau khawatir, tak ada yang dapat
mengganggu perasaan dan pikiran, karena ia telah mencapai tingkat kebersihan
jiwa yang paling tinggi. Seseorang yang telah mencapai tingkatan thuma’ninah,
ia telah kuat akalnya, kuat imannya dan ilmunya serta bersih ingatannya. Jadi,
orang tersebut merasakan ketenangan, bahagia, tentram dan ia dapat
berkomunikasi langsung dengan Allah. Thuma’ninah dibagi menjadi tiga tingkatan.
Pertama, ketenangan bagi kaum awam. Ketenangan ini didapatkan ketika seorang
hamba berzikir, mereka merasa tenang karena buah dari berzikir adalah
terkabulnya doa-doa. Kedua, ketenangan bagi orang-orang khusus. Mereka di
tingkat ini merasa tenang karena mereka rela, senang atas keputusan Allah, sabar
atas cobaan-Nya, ikhlas dan takwa. Ketiga, ketenangan bagi orang-orang paling
khusus. Ketenangan di tingkat ini mereka dapatkan karena mereka mengetahui
bahwa rahasia-rahasia hati mereka tidak sanggup merasa tentram kepada-Nya dan
tidak bisa tenang kepada-Nya, karena kewibawaan dan keagungan-Nya.
5. Uns
Uns (suka
cita) dalam pandangan sufi adalah sifat merasa selalu berteman, tak pernah
merasa sepi. Dalam keadaan seperti ini, seorang sufi merasakan tidak ada yang
dirasa, tidak ada yang diingat, tidak ada yang diharap kecuali Allah. Segenap
jiwa terpusat bulat kepada-Nya, sehingga ia seakan-akan tidak menyadari dirinya
lagi dan berada dalam situasi hilang kesadaran terhadap alam sekitarnya.
Situasi kejiwaan seperti itulah yang disebut al-Uns. Ada sebuah ungkapan yang
menggambarkan al-Uns sebagai berikut: “Ada orang yang merasa sepi dalam keramaian. Ia
adalah orang yang selalu memikirkan kekasihnya, sebab sedang dimabuk cinta,
seperti halnya sepasang pemuda dan pemudi. Ada pula orang yang bising dalam
kesepian. Ia adalah orang selalu memikirkan atau merencanakan tugas
pekerjaannya semata-mata. Adapun engkau selalu berteman di manapun berada.
Alangkah mulianya engkau berteman dengan Allah. Artinya engkau selalu berada
dalam pemeliharaan Allah.
Seorang
hamba yang merasakan Uns dibedakan menjadi tiga kondisi. Pertama, seorang hamba yang
merasakan suka cita berzikir mengingat Allah dan merasa gelisah di saat lalai.
Merasa senang di saat berbuat ketaatan dan gelisah berbuat dosa. Kedua, seorang
hamba yang merasa senang dengan Allah dan gelisah terhadap bisikan-bisikan
hati, pikiran dan segala sesuatu selain Allah yang akan menghalanginya untuk
dekat dengan Allah. Ketiga, yaitu kondisi yang tidak lagi melihat suka citanya
karena adanya wibawa, kedekatan, kemuliaan dan mengagungkan disertai dengan
suka cita.
6. Musyahadah
Musyahadah secara
harfiah adalah menyaksikan dengan mata kepala. Secara terminologi, tasawuf
adalah menyaksikan secara jelas dan sadar apa yang dicarinya (Allah) atau
penyaksian terhadap kekuasaan dan keagungan Allah. Seorang sufi telah mencapai musyahadah ketika sudah merasakan bahwa
Allah telah hadir atau Allah telah berada dalam hatinya dan seseorang sudah
tidak menyadari segala apa yang terjadi, segalanya tercurahkan pada yang satu,
yaitu Allah, sehingga tersingkap tabir yang menjadi senjangan antara sufi
dengan Allah. Dalam situasi seperti itu, seorang sufi memasuki tingkatan ma’rifat, di mana seorang sufi
seakan-akan menyaksikan Allah dan melalui persaksiannya tersebut maka timbullah
rasa cinta kasih.
Perpaduan antara pengetahuan dan rasa cinta yang mendalam lagi
dengan adanya perjumpaan secara langsung, maka tertanamlah dalam qalb perasaan yang mantap tentang
Allah. Perasaan mantapnya pengetahuan yang diperoleh dari pertemuan secara
langsung itulah yang dinamakan al-yaqin. Jadi, al-yaqin berarti perpaduan antara pengetahuan yang luas serta mendalam dan
rasa cinta serta rindu yang mendalam pula sehingga tertanamlah dalam jiwanya
perjumpaan secara langsung dengan Tuhannya. Dalam pandangan al-Junaid, yaqin adalah tetapnya ilmu di dalam
hati, tidak berbalik, tidak berpindah dan tidak berubah.
Analisis
MAqrifat dalam bahasa sufi
Seorang
manusia itu dapat merasakan kehadiran Allah ketika ia melakukan pengorbanan
tanpa mengharapkan apa-apa (tulus), sehingga apapun yang digali tidak akan
merasa haus akan pahala, melainkan hanya menginginkan ridha Allah SWT. Bagaikan
seseorang yang melintasi gurun melewati oase-oase yang sangat jauh tetapi ia
tidak merasakan haus sedikitpun.
Astagfirullah
wa’atubu ilaik bagi seorang sufi adalah pembuka musyahadah terhadap khoas,
tetapi bagi orang biasa ia hanya melakukan istigfar.
Sabar
bagi seorang sufi dalam melihat sebuah masalah seperti sebuah musibah atau
sakit dipandang bukan sebagai hal yang rugi, melainkan sufi memandang itu
sebagai nikmat dan ia yakin Allah akan menaikkan derajatnya.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dalam ilmu Tasawuf, maqamat berarti kedudukan hamba dalam pandangan Allah berdasarkan apa yang
telah diusahakan, baik melalui riyadhah, ibadah, maupunmujahadah. Di
samping itu, maqamat berarti jalan panjang atau fase-fase yang harus ditempuh oleh
seorang sufi untuk berada sedekat mungkin dengan Allah. Maqam dilalui seorang
hamba melalui usaha yang sungguh-sungguh dalam melakukan sejumlah kewajiban
yang harus ditempuh dalam jangka waktu tertentu. Seorang hamba tidak akan
mencapai maqam berikutnya sebelum menyempurnakan maqam sebelumnya.
Berkaitan
dengan macam-macam maqamat yang harus ditempuh oleh seorang salik untuk berada sedekat
mungkin dengan Allah, para sufi memiliki pendapat yang berbeda-beda. Dalam pada
itu Imam al-Ghazali dalam kitabnya Ihya’ Ulum al-Dinmengatakan bahwa maqamat itu ada delapan, yaitu al-taubah, al-shabr, al-tawakkal, dan al-ridla. Sedangkan al-tawaddlu, al-mahabbah, dan
al-ma’rifah oleh mereka tidak disepakati
sebagai maqamat. Sementara itu Abu Nasr al-Sarraj al-Tusi dalam kitab al-Luma’
menyebutkan jumlah maqamat hanya tujuh , yaitu al-taubah, al-wara’, al-zuhud, al-faqr, al-tawakkal dan al-ridla. Sedangkan menurut Muhammad al-Kalabazy, maqamat terdiri dari sepuluh tingkatan,
yaitu taubat, zuhud, sabar, faqr, tawadhu’, takwa,
tawakkal, ridha, mahabbah, dan ma’rifat.
Sedangkan
dalam ilmu Tasawuf, hal adalah kedudukan atau situasi kejiwaan yang dianugerahkan Allah
kepada seseorang hamba pada suatu waktu, baik sebagai buah dari amal saleh yang
mensucikan jiwa atau sebagai pemberian semata.
Jika
berpijak dari beberapa pendapat para sufi di atas, maka tidak ada perbedaan,
yang pada intinya, hal adalah keadaan rohani seorang hamba ketika hatinya telah bersih
dan suci. Hal berlainan dengan maqam, hal tidak menentu datangnya,
terkadang datang dan perginya berlangsung cepat, yang disebut lawaihdan ada pula yang datang dan
perginya dalam waktu yang lama, yang disebutbawadih
dalam
penentuan hal juga terdapat perbedaan pendapat di kalangan sufi. Adapun al- hal yang paling banyak disepakati adalah al-muraqabah, al-khauf, ar-raja’, ath-thuma’ninah, al-musyahadah, dan al-yaqin.
B.
Saran
Untuk memahami ilmu tasawuf khususnya dalam maqamat dan ahwal,hendaknya tidak hanya tertumpu
pada satu literatur saja. Oleh karena itu makalah ini semoga menjadi pemacu
penyusun khususnya dan penyusun berikutnya pada umumnya untuk lebih mendalami
ilmu tasawuf, sehingga apa yang sudah dijelaskan dalam makalah ini bisa
diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari menjadi lebih baik sesuai dari tujuan
ilmu tasawuf itu sendiri.`
DAFTAR PUSTAKA
Anwar,
Rosibon dan Mukhtar, Solihin. Ilmu Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia.2004
Asmaran,
As. Pengantar Studi Tasawuf. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada. 2002
Syukur,
Amin. Zuhud Di Abad Modern. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2004
Syukur,
Amin. Tasawuf Kontekstual Solusi Problem Manusia Modern. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.2003
Tim
penyusun MKD IAIN Sunan Ampel. Akhlak Tasawuf. Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press. 2011
Yusuf,
Anwar Ali, Studi Agama Islam Untuk Perguruan
Tinggi. Bandung: Pustaka Setia. 2003
Nata,
Abuddin. Akhlak Tasawuf. Jakarta: Rajawali Pers. 2011
Yusuf,
Anwar Ali, Studi Agama Islam Untuk Perguruan Tinggi. Bandung: Pustaka Setia. 2003
Syukur,
Amin. Tasawuf Kontekstual Solusi Problem Manusia Modern. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.2003