Friday, July 7, 2017

Makalah Tentang Metafisika Aristoteles

BAB I
PENDAHULUAN

1.    Latar Belakang Masalah
            Pengetahuan mistik metafisika adalah pengetahuan supra-rasional tentang obyek yang supra-rasional. Banyak pandangan yang telah membawa perubahan besar pada pola pikir manusia dan masyarakat modern, yang mendasarkan diri pada filsafat rasionalisme dan empirisme, sehingga realitas yang dianggap nyata adalah yang empirik, atau yang bisa dipikirkan secara rasional. Di luar semua itu, dipandang dan diyakini sebagai sesuatu yang tidak nyata. Inilah yang disebut dengan aliran intuisionisme. Intuisi merupakan pengetahuan yang didapatkan tanpa melalui proses penalaran tertentu. Intuisi bersifat personal dan tidak bisa diperdiksi. Intuisi inilah yang menjadi pengetahuan mistik.
Namun seiring perkembangan zaman, pengetahuan mistik menjadi terkesampingkan, akibat dari positivisme dan kemajuan ilmu pengetahuan maka comte pun menganjurkan pola hidup sekuler dengan cara meninggalkan hal-hal yang berbau mistik ataupun agama karena merupakan anakronisme yang harus ditinggalkan. Dan orang yang masih berpegang pada agama merupakan ciri orang primitip. Oleh karena itu, dalam makalah ini akan diuraikan tentang hakikat pengetahuan mistik metafisika, struktur pengetahuan metafisika dan aliran-aliran dari pengetahuan metafisika.


2. Rumusan Masalah
1. Biografi Aristoteles ?
2. Metafisika Aristoteles ?
3. Tujuan
      Adapun tujuan dalam pembuatan makalah ini yaitu untuk memenuhi tugas mata kuliah Ontologi serta membahas materi tentang Biografi, Metafisika Aristoteles supaya kita lebih memahami akan materi yang kita bahas tersebut.




BAB II
PEMBAHASAN
2.1  Biografi Aristoteles
Aristoteles dilahirkan di stagira pada tahun 384 SM. Untuk menyelesaikan pendidikannya pergilah Ia ke Athena dan tinggal disitu selama 20 tahun sebagai murit Plato. Sepeninggalan Plato Ia mendirikan sekolah di Assus, tetapi kemudian Ia terpaksa meninggalkan kota ini serta kembali ke Athena. Pada tahun 342 SM Ia di panggil oleh FILIPOS, Raja Masedonia untuk mengajar anaknya yaitu Alexander. Waktu Alexander pada tahun 336 SM berangkat ke medan perang, kembali ke Aristoteles ke Athena. Ketika ada hura-hura di Athena sesudah Alexander meninggal, Ia meinggalkan Athena karena di dakwa sebagai orang yang tak percaya kepada Dewa. Tahun 322 SM meninggalah Aristoteles di Euboea.[1]

2.2  Metafisika Aristoteles
Metafisika Aristoteles berpusat pada persoalan “Barang” dan “Bentuk” diterangkan bahwa Aristoteles sependapat dengan Plato, bahwa adanya yang sebenarnya ialah yang umum dan pengetahuan tentang itu ialah pengertian. Yang ditantangnya dalam ajaran gurunya ialah perpisahan yang absolut antara idea dan kenyataan yang lahir.[2]
1.      Bentuk Dan Kategori
Jika benar bahwa istilah tertentu yang sangat penting itu memang ada, misalnya bentuk yang terjdi dan muncul dalam diskusi metafisika, seharusnya menjelaskan bahwa satu cara untuk memahami metafisika itu berarti harus memahami cara yang harus digunakan pengarang dalam memberi makna yang sangat berbeda terhadap istilah lama. Dengan cara ini, orang sampai pada pengertian bahwa perkembangan pandangan metafisika baru itu dicapai dengan mengubah makna konsep sehingga menyoroti makna aspek yang baru. Aristoteles sependapat dengan Plato dalam membuat bentuk sebagai hal yang sentral bagi pengetahuan, dan Ia memberikan unsur kesamaan : Bentuk itu universal dan dapat dipisahkan dari individu ; untuk itu dalam diri sendiri tidak berubah; dan Ia merupakan sumber inteligibilitas yang dengannya objek indra individual harus dimengerti. Sebagai yang sering dicatat, ketidak sepakatan Aristoteles terhadap Plato terjadi pada eksistensi dan status yang diberikan pada bentuk benda. Bagi Aristoteles, bentuk itu adanya tidak terpisah dari objek dunia fisis, namun hanya ada didalamnya; bentuk itu digali oleh intelegensi manusia untuk tujuan pemahaman. Disini, yang perlu dicatat, bahwa Aristoteles menolak bahwa untuk menerima bentuk sebagai bagaimana yang diterapkan sebagai bentuk yang abstrak seperti kesatuan. Karena, bagaimanapun juga, tidak ada objek indrawi yang bentuk seperti itu dapat diabstraksikan. Plato dipaksa untuk mengajukan ajarannya tentang eksistensi bentuk yang terpisah dalam rangka menerangkan tentang konsep abstrak, namun Aristoteles, secara lebih baik, dapat membatasi eksistensi bentuk hanya pada unsur yang terdapat pada dunia fisis, karena dia tidak berusaha memasukannya sebagai bentuk berbagai unsur yang lain dari pada yang secara aktual mewujud dalam objek fisik. Sekalipun demikian, bentuk tidak hanya berlaku pada Aristoteles; seperti kebanyakan konsep interatifnya, hal itu sebaiknya dimengerti sebagai sesuatu yang berbeda dengan konsep yang menjadi pasangannya. Dalam kasus ini, materi dimengerti bersama dengan bentuk dan semua objek harus di analisis dengan menggunakan dua konsep ini. Materi bukan merupakan sesuatu yang ada dalam diri sendiri, karena materi itu tidak lepas dari objek aktual; namun, baik materi maupun bentuk, itu merupakan konsep dasar yang dengannya berbagai objek dan hal dapat dimengerti dan di analisis.
      Jadi, apa yang merupakan bentuk dalam satu situasi mungkin menjadi materi dalam situasi yang lain. Kayu adalah materi bagi pembuatan kertas, namun bentuk kertas pada gilirannya dapat menjadi materi bagi rancangan (design) yang berupa potongan. Jenis analisis ini mengingatkan pada ajaran Aristoteles yang termashur tentang kategori, yang mencapai kedudukan baru dalam interpretasi yang sama seperti berbeda bersama Kant dikemudian hari. Ada sejumlah konsep ultimate yang dengan setiap objek didunia dapat di klasifikasikan dan dianalisis; kumpulan konsep ini saling bersifat esklusif dan lemngkap bagi konsep dasar yang diperlukan bagi semua pengertian. Esensi, sifat, dan aksidensi merupakan kategori yang diperlukan yang dengannya kualitas objek dapat diklasifikasikan dan dipahami, dan tidak ada kemungkinan untuk mereduksi semuanya ini dengan sesuatu yang lebih mendasar. Rasionalitas itu esensial bagiku sebagai manusia; humor merupakan sifat yang tumbuh padaku sebagaimana biasanya sebagai manusia, namun bahwasanya aku berada dalam sebuah kapal dilautan antlantic merupakan aksidensi bagi eksistensi-ku yang khas.
      Tidak begitu penting untuk mengatakan apa kategori aristoteles tersebut bersifat lengkap bagi semua kategori yang mungkin, atau juga apakah dia mendefinisikannya secara memadai. Yang terpenting adalah melihat fungsi kategori dan memahami tujuannya dalam metafisika.

1.      Empat Kausa
Beberapa konsep filsafat lebih dimengerti secara luas atau lebih diketahui secara populer dari pada pembagian Aristoteles yang termashur atas semua sebab menjadi empat macam : Material, formal, efisien, dan final. Dua sebab pertama mudah dimengerti dengan analisis atas semua objek menjadi materi dan bentuk. Tetapi, yang terpenting untuk diketahui adalah pandangan Aristoteles tentang sentralitas sebab dalam pencapaia pengetahuan. Penangkapan sesuatu dengan indra kita bahkan seandainya orang mengabstraksikan bentuk yang hadir tidak cukup untuk menghasilkan pengetahuan. Kita dikatakan “Mengetahui” hanya ketika kita memahami sebab dari sesuatu. Jika hal itu benar, kita harus mengetahui berbagai macam sebab, sehingga dalam hal ini kita tidak memahami salah satu jenis sebab saja dan mengabaikan aspek penting yang lain. Aristoteles menyatakan bahwa sebab itu, seperti kategori, membentuk himpunan yang lengkap dan tidak dapat direduksi, dan dia berpendapat bahwa empat macam sebab tersebut saling bersifat esklusif dan lengkap.
·         Kausa material adalah sesuatu yang dari situ sesuatu itu tersebut-baik itu materi fisik seperti kain untuk baju, maupun kata yang dirangkai untuk membentuk ucapan.
·         Kausa formal secara jelas merupakan bentuk atau setruktur yang diberikan kepada materi-pola baju atau logika wacana.
·         Kausa efisien adalah sarana yang dengan itu kajian dihasilkan-pembuat baju yang memotongi bahan atau kemampuan teoritas pembicara dalam menyusun kata.
·         Kausa Final barangkali yang paling menimbulkan banyak perdebatan, namun mungkin juga yang paling penting bagi Aristoteles. Dalam kaitannya dengan metafisika final-tujuan atau maksud-sama pentingnya bagi aristoteles, dalam memberi dasar bagi pengertian, sebagaimana prinsip pertama yang jelas dalam dirinya sendiri. Maksud menjual baju adalah untuk mendapatkan uang, atau keinginan pembicaraan adalah untuk memahamkan pemilihan-hal ini adalah semacam sebab final yang dibicarakan Aristoteles, dan sebab final menentukan batas luar yang diperlukan untuk mencapai pengetahuan, sebagaimana prinsip pertama yang memberikan titik tolak yang kokoh bagi semua analisis.

2.      Penggerak yang tidak digerakkan
Pengantar Aristoteles untuk konsepnya tentang penggerak yang tidak digerakkan, sampai batas tertentu, diakui merupakan tambahan yang paling penting metafisiknya. Namun, hal tersebut merupakan sasaran kritik sejak awal. Kepentingan kita bukanlah untuk terlibat dalam argumen yang menopang eksistensi konsep tersebut, atau untuk menilai kritik terhadap pengantar ini sebagai “tidak perlu” ataupun untuk melibatkan diri dalam kerumitan yang tidak perlu. Apa yang harus kita ketahui adalah tempat dan fungsi konsep ini dalam pemikiran Aristoteles. Kita juga harus mengerti apa yang dikatakan ide ini kepada kita, baik itu berkaitan dengan metafisika Aristoteles maupun dengan alternatif yang lain. Mungkin, penyelidikan terhadap perbedaan antara penggerak yang tidak digerakkan dan “Jiwa” Plato akan banyak memberikan pelajaran. Penggerak yang tidak digerakkan menyebabkan gerakan tanpa dirinya sendiri tanpa hatus bergerak; dia merupakan pikiran murni yang beraktualisasi dan berfikir hanya kepada dirinya sendiri. Aristoteles menghawatirkan gerakan lebih dari apa yang dilakukan Plato, dan dengan demikian, Aristoteles merasa perlu untuk mengeliminasi gerakan sebagai prinsip ultimate, karena konsep ini merupakan penghalang bagi inteligibilitas. Gerakan itu fundamental, dan malahan Aristoteles tidak memandang sebagai sesuatu yang memiliki sifat ilahi bagaimana Plato “Jiwa”.

Preferensi dan tekanan Aristoteles pada prioritas aktualitas itu penting dan aktulitas dipandang sama pentingnya oleh banyak pemikir, meskipun mereka tidak perlu bertahan dengan sedemikian kritis terhadap proses tersebut, sebagaiman yang dipertahankan Aristoteles. Aristoteles memberi status yang tidak terbatas sebagai potensi, dan hal ini akan menunjukan peranan yang lebih rendah pada potensi. Keinginannya atas batas tertentu dan atas kepenuhan memaksa bahwa aktualitas itu dibuat primer, dan dalam kaitannya dapat dilihat, bahwa gerakan itu mewujudkan keadaan yang tidak lengkap.[3]
















PENUTUP
Kesimpulan
Aristoteles dilahirkan di stagira pada tahun 384 SM. Untuk menyelesaikan pendidikannya pergilah Ia ke Athena dan tinggal disitu selama 20 tahun sebagai murit Plato, dan pada tahun 322 SM meninggalah Aristoteles di Euboea.
Metafisika Aristoteles berpusat pada persoalan “Barang” dan “Bentuk” diterangkan bahwa Aristoteles sependapat dengan Plato, bahwa adanya yang sebenarnya ialah yang umum dan pengetahuan tentang itu ialah pengertian. Yang ditantangnya dalam ajaran gurunya ialah perpisahan yang absolut antara idea dan kenyataan yang lahir. Dan adapun beberapa bahasan dalam metafisika Aristoteles yaitu : Bentuk dan Kategori, Empat kausa, Dan Penggerak yang tidak digerakkan.













DAFTAR PUSTAKA
Prof I.R. Poedja Wijatna, Pembimbing ke arah alam filsafat, P.T. Pembangunan Jakarta 1980
Frederick Sontang, Pengantar Metafisika, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2002
Mohammad Hatta, Alam Pikiran Yunani, Tintamas indonesia, jakarta 1982, hlm 126



[1] Prof I.R. Poedja Wijatna, Pembimbing ke arah alam filsafat, P.T. Pembangunan Jakarta 1980, hlm 33
[2] Mohammad Hatta, Alam Pikiran Yunani, Tintamas indonesia, jakarta 1982, hlm 126
[3] Frederick Sontang, Pengantar Metafisika, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2002, hlm 84-97

Friday, May 20, 2016

Maqomat dan Ahwal Serta Tahapan-Tahapannya Dalam Tasawuf

BAB I
PENDAHULUAN

A.        Latar Balakang Masalah

Tasawuf merupakan salah satu fenomena dalam Islam yang memusatkan perhatian pada pembersihan aspek rohani manusia, yang selanjutnya menimbulkan akhlak mulia. Melalui tasawuf ini seseorang dapat mengetahui tentang cara-cara melakukan pembersihan diri serta mengamalkan secara benar. banyak pengertian tasawuf yang dirumuskan oleh ulama tasawuf, tetapi tidak mencakup pengertian tasawuf secara menyeluruh. defenisi tasawuf yang dirumuskan oleh ulama tasawuf, tetapi tidak mencakup pengertian tasawuf secara menyeluruh.
Tinjauan analitis terhadap tasawuf menunjukkan bahwa para sufi dengan berbagai aliran yang dianutnya memiliki suatu konsepsi tentang jalan (thariqat) menuju Allah. Jalan ini dimulai dengan latihan-latihan rohaniah (riyadah), lalu secara bertahap menempuh berbagai fase, yang dikenal dengan maqam (tingkatan) dan hal(keadaan), dan berakhir dengan mengenal (ma’rifat) kepada Allah. Tingkat pengenalan (ma’rifat) menjadi jargon yang umumnya banyak dikejar oleh para sufi. Kerangka sikap dan perilaku sufi diwujudkan melalui amalan dan metode tertentu yang disebut thariqat, atau jalan untuk menemukan pengenalan (ma’rifat) Allah. Lingkup perjalanan menuju Allah untuk memperoleh pengenalan (ma’rifat) yang berlaku di kalangan sufi sering disebut sebagai sebuah kerangka ‘Irfani.
Perjalanan menuju Allah merupakan metode pengenalan (ma’rifat) secara rasa (rohaniah) yang benar terhadap Allah. Manusia tidak akan tidak akan tahu banyak mengenai penciptanya apabila belum melakukan perjalanan menuju Allah walaupun ia adalah orang yang beriman secara aqliyah. Hal ini karena adanya perbedaan yang dalam antara iman secara aqliyah  atau logis-teoritis (Al-Iman Al-aqli An-nazhari) dan iman secara rasa (al-iman Asy-syu’uri Ad-dzauqi).
Lingkup ‘Irfani tidak dapat dicapai dengan mudah atau secara spontanitas, tetapi melalui proses yang panjang. Proses yang dimaksud adalah maqam-maqam(tingkatan atau stasiun) dan ahwal (jama’ dari hal). Dua persoalan ini harus dilewati oleh orang yang berjalan menuju Tuhan.
Namun perlu dicatat, maqam dan hal tidak dapat dipisahkan. Keduanya ibarat dua sisi dalam satu mata uang. Keterkaitan antar keduanya dapat dilihat dalam kenyataan bahwa maqam menjadi prasyarat menuju Tuhan dan dalam maqam akan ditemukan kehadiran hal. Hal yang telah ditemukan dalam maqam akan mengantarkan seseorang untuk mendaki maqam-maqam selanjutnya. Untuk itu penulis akan membahas tentang maqam dan ahwal dalam tasawuf.




B.     Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan maqamat dan tahapan-tahapannya dalam tasawuf ?
2.      Apa yang dimaksud dengan ahwal dan tahapan-tahapannya dalam tasawuf?

C.    Tujuan Pembahasan
1.      Untuk mengetahui penjelasan dari maqamat dan tahapan-tahapannya dalam tasawuf.
2.      Untuk mngetahui penjelasan dari ahwal dan tahapan-tahapannya dalam tasawuf.


BAB II
PEMBAHASAN

A.     Maqamat
Secara harfiah, maqamat merupakan jamak dari kata maqam yang berarti tempat berpijak atau pangkat mulia. Dalam Bahasa Inggris maqamat dikenal dengan istilah stages yang berarti tangga. Sedangkan dalam ilmu Tasawuf, maqamat berarti kedudukan hamba dalam pandangan Allah berdasarkan apa yang telah diusahakan, baik melalui riyadhah, ibadah, maupun mujahadah. Di samping itu, maqamat berarti jalan panjang atau fase-fase yang harus ditempuh oleh seorang sufi untuk berada sedekat mungkin dengan Allah. Maqam dilalui seorang hamba melalui usaha yang sungguh-sungguh dalam melakukan sejumlah kewajiban yang harus ditempuh dalam jangka waktu tertentu. Seorang hamba tidak akan mencapai maqam berikutnya sebelum menyempurnakan maqam sebelumnya.
Tentang berapa jumlah tangga atau maqamat yang harus ditempuh oleh seorang sufi untuk sampai menuju Tuhan, di kalangan para sufi tidak sama pendapatnya. Muhammad al-Kalabazy dalam kitabnya al-Ta’arruf li Mazhab ahl al-Tasawwuf, sebagai dikutip Harun Nasution misalnya mengatakan bahwa maqamat itu jumlahnya ada sepuluh, yaitu al-taubah, al-zuhud, al-shabr, al-faqr, al-tawadlu’, al-taqwa, al-tawakkal, al-ridla, al-mahabbah dan al-ma’rifah.
Sementara itu Abu Nasr al-Sarraj al-Tusi dalam kitab al-Luma’ menyebutkan jumlah maqamat hanya tujuh , yaitu al-taubah, al-wara’, al-zuhud, al-faqr, al-tawakkal dan al-ridla.
Dalam pada itu Imam al-Ghazali dalam kitabnya Ihya’ Ulum al-Dinmengatakan bahwa maqamat itu ada delapan, yaitu al-taubah, al-shabr,al-zuhud, al-tawakkal,al-mahabbah, al-ma’rifah, dan al-ridla.
Kutipan tersebut memperlihatkan keadaan variasi penyebutan maqamat yang berbeda-beda, namun ada maqamat yang oleh mereka disepakati, yaitu al-taubah, al-zuhud, al-wara, al-faqr, al-shabr, al-tawakkal dan al-ridla. Sedangkan al-tawaddlu, al-mahabbah, dan al-ma’rifah oleh mereka tidak disepakati sebagai maqamat. Terhadap tiga istilah yang disebut terakhir itu (al-tawaddlu, al-mahabbah dan al-ma’rifah) terkadang para ahli tasawuf menyebutnya sebagai maqamat, dan terkadang menyebutnya sebagai hal dan ittihad (tercapainya kesatuan wujud rohaniah dengan Tuhan). Untuk itu dalam uraian ini, maqamat yang akan dijelaskan lebih lanjut adalah maqamat yang disepakati oleh mereka, yaitu al-taubah, al-zuhud, al-wara’, al-faqr, al-shabr, al-tawakkal, dan  al-ridla. Penjelasan atas masing-masing istilah tersebut dapat dikemukakan sebagai berikut:

1.Taubat

Taubat berasal dari Bahasa Arab taba-yatubu-taubatan yang berarti “kembali” dan “penyelesalan”. Sedangkan pengertian taubat bagi kalangan sufi adalah memohon ampun atas segala dosa yang disertai dengan penyesalan dan berjanji dengan sungguh-sungguh untuk tidak mengulangi perbuatan dosa tersebut dan dibarengi dengan melakukan kebajikan yang dianjurkan oleh Allah.
Taubat menurut Dzun Nun al-Misri dibedakan menjadi tiga tingkatan: (1) orang yang bertaubat dari dosa dan keburukan, (2) orang yang bertaubat dari kelalaian mengingat Allah dan (3) orang yang bertaubat karena memandang kebaikan dan ketaatannya. Dari ketiga tingkatan taubat tersebut, yang dimaksud sebagai maqam dalam tasawuf adalah upaya taubat, karena merasakan kenikmatan batin.
Bagi orang awam, taubat dilakukan dengan membaca astagfirullah wa atubu ilaihi. Sedangkan bagi orang khawash taubat dilakukan dengan riyadhahdan mujahadah dalam rangka membuka hijab yang membatasi dirinya dengan Allah swt. Taubat ini dilakukan para sufi hingga mampu menggapai maqam yang lebih tinggi.
Lain halnya dengan Ibnu Taimiyah. Ia membedakan taubat menjadi dua: taubat wajib dan taubat sunnah. Taubat wajib adalah taubat karena menyesali perbuatan meninggalkan perkara-perkara wajib, atau menyesal karena melakukan perkara-perkara haram. Sedangkan taubat sunnah adalah taubat karena menyesali perbuatan meninggalkan perkara-perkara sunnah, atau karena menyesali perbuatan melakukan perkara-perkara makruh. Berkaitan dengan dua macam taubat ini, Ibnu Taimiyah menjelaskan tingkatan/derajat orang yang bertaubat menjadi dua. Pertama, al-abrar al-muqtashidun (orang-orang yang berbakti lagi pertengahan), yaitu orang-orang yang melakukan jenis taubat yang pertama, yaitu taubat wajib. Kedua, as-sabiqun al-awwalun. Mereka adalah orang yang melakukan jenis taubat wajib dan taubat sunnah.
Taubat seperti dijelaskan oleh Imam Ghazali dalam kitabnya "Ihya ulumuddin" adalah sebuah makna yang terdiri dari tiga unsur: ilmu, hal dan amal. Ilmu adalah unsur yang pertama, kemudian yang kedua hal, dan ketiga amal. Ia berkata: yang pertama mewajibkan yang kedua, dan yang kedua mewajibkan yang ketiga. Berlangsung sesuai dengan hukum (ketentuan) Allah SWT yang berlangsung dalam kerajaan dan malakut-Nya.
Ia berkata: "Sedangkan ilmu adalah, mengetahui besarnya bahaya dosa, dan ia adalah penghalang antara hamba dan seluruh yang ia senangi. Jika ia telah mengetahui itu dengan yakin dan sepenuh hati, pengetahuannya itu akan berpengaruh dalam hatinya dan ia merasakan kepedihan karena kehilangan yang dia cintai. Karena hati, ketika ia merasakan hilangnya yang dia cintai, ia akan merasakan kepedihan, dan jika kehilangan itu diakibatkan oleh perbuatannya, niscaya ia akan menyesali perbuatannya itu. Dan perasaan pedih kehilangan yang dia cintai itu dinamakan penyesalan. Jika perasaan pedih itu demikian kuat berpengaruh dalam hatinya dan menguasai hatinya, maka perasaan itu akan mendorong timbulnya perasaan lain, yaitu tekad dan kemauan untuk mengerjakan apa yang seharusnya pada saat ini, kemarin dan akan datang. Tindakan yang ia lakukan saat ini adalah meninggalkan dosa yang menyelimutinya, dan terhadap masa depannya adalah dengan bertekad untuk meninggalkan dosa yang mengakibatkannya kehilangan yang dia cintai hingga sepanjang masa. Sedangkan masa lalunya adalah dengan menebus apa yang ia lakukan sebelumnya, jika dapat ditebus, atau menggantinya.
Yang pertama adalah ilmu. Dialah pangkal pertama seluruh kebaikan ini. Yang aku maksudkan dengan ilmu ini adalah keimanan dan keyakinan. Karena iman bermakna pembenaran bahwa dosa adalah racun yang menghancurkan. Sedangkan yakin adalah penegasan pembenaran ini, tidak meragukannya serta memenuhi hatinya. Maka cahaya iman dalam hati ini ketika bersinar akan membuahkan api penyesalan, sehingga hati merasakan kepedihan. Karena dengan cahaya iman itu ia dapat melihat bahwa saat ini, karena dosanya itu, ia terhalang dari yang dia cintai. Seperti orang yang diterangi cahaya matahari, ketika ia berada dalam kegelapan, maka cahaya itu menghilangkan penghalang penglihatannya sehingga ia dapat melihat yang dia cintai. Dan ketika ia menyadari ia hampir binasa, maka cahaya cinta dalam hatinya bergejolak, dan api ini membangkitkan kekuatannya untuk menyelamatkan dirinya serta mengejar yang dia cintai itu.
Ilmu dan penyesalan, serta tekad untuk meninggalkan perbuatan dosa saat ini dan masa akan datang, serta berusaha menutupi perbuatan masa lalu mempunyai tiga makna yang berkaitan dengan pencapaiannya itu. Secara keseluruhan dinamakan taubat. Banyak pula taubat itu disebut dengan makna penyesalan saja. Ilmu akan dosa itu dijadikan sebagai permulaan, sedangkan meninggalkan perbuatan dosa itu sebagai buah dan konsekwensi dari ilmu itu. Dari itu dapat dipahami sabda Rasulullah Saw : " Penyesalan adalah taubat" (Hafizh al 'Iraqi dalam takhrij hadits-hadits Ihya Ulumuddin berkata: hadits ini ditakhrijkan oleh Ibnu Majah, Ibnu Hibban, dan al Hakim. Serta ia mensahihkan sanadnya dari hadits Ibnu Mas'ud. Dan diriwayakan pula oleh Ibnu Hibban dan Al Hakim dari hadits Anas r.a. dan ia berkata: hadits ini sahih atas syarat Bukhari dan Muslim), karena penyesalan itu dapat terjadi dari ilmu yang mewajibkan serta membuahkan penyesalan itu, dan tekad untuk meninggalkan dosa sebagai konsekwensinya. Maka penyesalan itu dipelihara dengan dua cabangnya, yaitu buahnya dan apa yang membuahkannya.
Berkaitan dengan maqam taubat, dalam al-Qur’an terdapat banyak ayat yang menjelaskan masalah ini, di antaranya adalah ayat yang berbunyi:

Artinya: Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui.(Ali Imron: 135).

Artinya: ...dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.(An-Nur: 31)

2.      Zuhud

Secara etimologis, zuhud berarti ragaba ‘ansyai’in wa tarakahu, artinya tidak tertarik terhadap sesuatu dan meninggalkannya. Zuhada fi al-dunya, berarti mengosongkan diri dari kesenangan dunia untuk ibadah.
Menurut pandangan orang-orang sufi, dunia dan segala kemewahan, serta kelezatannya adalah sumber kemaksiatan dan penyebab terjadinya perbuatan-perbuatan dosa. Oleh karena itu, seorang pemula atau calon sufi harus terlebih dahulu menjadi zahid. Sikap zuhd ini erat hubungannya dengan taubah, sebabtaubah tidak akan berhasil apabila hati dan keinginannya masih terkait kepada kesenangan duniawi.
Mengenai pengertian zuhd ini terdapat berbagai variasi. Al-Junaidi berkata: “Zuhd ialah keadaan jiwa yang kosong dari rasa memiliki dan ambisi menguasai.” Ali bin Abi Talib ketika ditanya tentang zuhd, menjawab: “Zuhd berarti tidak peduli, siapa yang memanfaatkan benda-benda duniawi ini, baik seorang yang beriman atau tidak.” Dan al-Syibli ketika ditanya tentang zuhd, berkata: “Dalam kenyataannya zuhd itu tidak ada. Jika seseorang bersikap zuhd pada sesuatu yang tidak menjadi miliknya, maka itu bukan zuhd, dan jika seseorang bersikap zuhdpada sesuatu yang menjadi miliknya, bagaimana bisa dikatakan bahwa itu zuhd,sedangkan sesuatu itu masih ada padanya dan dia masih memilikinya? Zuhdberarti menahan nafsu, bermurah hati dan berbuat kebaikan.” Hal ini seakan-akan mengisyaratkan bahwa dia mengartikan zuhd sebagai tindakan meninggalkan sesuatu yang tidak menjadi miliknya. Dan jika sesuatu itu tidak menjadi milik seseorang, maka tidak dapat dikatakan bahwa orang itu meninggalkannya, sebab sesuatu memang telah tertinggalkan, sedangkan jika sesuatu itu menjadi milik seseorang, maka tidak mungkin orang itu meninggalkannya. Namun, betapapun bervariasinya pengertian yang diberikan, tekanan utama pada sikap zuhd adalah mengurangi keinginan terhadap kehidupan duniawi.[1]
Untuk lebih memperjelas pengertian pengertian dan rumusan zuhd di atas, masih dirasa perlu untuk mencantumkan beberapa pengertian lagi. Zuhd menurut Ibn Qudamah al-Muqaddasi ialah “pengalihan keinginan dari sesuatu kepada sesuatu yang lebih baik.” Menurut Imam Al-Ghazali, “zuhd ialah mengurangi keinginan kepada dunia dan menjauh daripadanya dengan penuh kesadaran dan dalam hal yang mungkin dilakukan.” Imam al-Qusyairi mengatakan, “zuhd ialah tidak merasa bangga dengan kemewahan dunia yang telah ada di tangannya dan tidak merasa bersedih dengan hilangnya kemewahan tadi dari tangannya.
Berkaitan dengan konsep zuhud, dalam al-Qur’an terdapat ayat yang menjelaskan hal itu, di antaranya:


Artinya: Katakanlah: "Kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertakwa, dan kamu tidak akan dianiaya sedikitpun. (An-Nisa’: 77).


Artinya:  Dan Tiadalah kehidupan dunia ini, selain dari main-main dan senda gurau belaka. dan sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertaqwa. Maka tidakkah kamu memahaminya?(Al-An’am: 32).

Ayat-ayat di atas secara singkat menjelaskan bahwa kehidupan dunia yang kita rasakan hanyalah sesaat dan suatu saat akan lenyap dan musnah dalam seketika, dibandingkan dengan kehidupan akhirat yaitu kehidupan yang ditempuh sesudah kita mati merupakan alam yang kekal dan abadi dan merupakan kehidupan yang lebih baik daripada kehidupan dunia.
Zuhud berdasarkan maksudnya dibagi menjadi tiga tingkatan. Pertama, zuhud menjauhkan dunia agar terhindar dari hukuman akhirat. Kedua, zuhud menjauhi dunia dengan mengharap imbalan di akhirat. Ketiga, zuhud meninggalkan kesenangan dunia bukan karena berharap atau takut, akan tetapi karena kecintaan terhadap Allah semata. Pada tingkatan ketiga inilah yang mampu membukakan tabir antara seorang hamba dan Allah.
Selain ketiga zuhud tersebut, al-Ghazali juga mengklasifikasikan zuhud menjadi beberapa tingkatan, yaitu:


a.       Zuhud yang dikaitkan dengan jiwa orang yang berzuhud. Tingkatan ini dibedakan kembali menjadi tiga bagian berdasarkan kuat lemahnya zuhud, yaitu:
1)      As-sufla, yaitu derajat zuhud yang paling rendah, dimana orang meninggalkan kemewahan dunia tetapi sebenarnya hatinya masih cenderung dan menginginkannya.
2)      Derajat zuhud orang yang meninggalkan kemewahan dunia secara sukarela, karena ia melihat dunia sebagai kehinaan.
3)      A-‘Ulya, yaitu derajat yang paling tinggi. Maksudnya, di sini adalah menjauhi kemewahan dunia secara sukarela, karena ia melihat dunia tidak mempunyai nilai apa-apa dan tidak sepadan dengan sesuatu apapun.


b.      Zuhud yang dikaitkan dengan sesuatu yang dicintai. Zuhud ini dibagi menjadi tiga bagian, yaitu:
1)      Zuhudnya orang takut, dimana seorang hamba melakukan zuhud dikarenakan takut akan siksa neraka, azab kubur dan lain-lain.
2)      Zuhud orang yang mengharapkan pahala, nikmat Allah dan kelezatan yang telah dijanjikan di dalam surga.
3)      Derajat yang tertinggi, yaitu zuhudnya para arif di mana zuhud mereka bukan dikarenakan suatu apapun selain Allah, tetapi hanya ingin berjumpa dengan Allah.


c.       Zuhud yang dikaitkan dengan sesuatu yang harus ditinggalkan. Tingkatan ini dibagi menjadi:
1)      Meninggalkan sesuatu selain Allah.
2)      Meninggalkan segala sesuatu yang dikarenakan nafsu, seperti marah, sombong, pangkat, harta, dan lain-lain.


d.      Zuhud dengan meninggalkan harta, pangkat dan segala sesuatu yang menyebabkan seseorang mendapatkannya. Meninggalkan dirham, pangkat, dan segala kesenangan dunia.

3.      Sabar
Sabar, secara harfiah , berarti tabah hati. Secara terminologi, sabar adalah suatu keadaan jiwa yang kokoh, stabil dan konsekuen dalam pendirian. Sedangkan menurut pandangan Dzun Nun al-Misri, sabar berarti menjauhkan diri dari hal-hal yang bertentangan dengan kehendak Allah, tetap tenang ketika mendapat cobaan dan menampakkan sikap cukup, walaupun sebenarnya berada dalam kefakiran. Berdasarkan pengertian di atas, maka sabar erat hubungannya dengan pengendalian diri, pengendalian sikap dan pengendalian emosi. Oleh sebab itu, sikap sabar tidak bisa terwujud begitu saja, akan tetapi harus melalui latihan yang sungguh-sungguh.
Sabar, menurut Al-Ghazali, jika dipandang sebagai pengekangan tuntutan nafsu dan amarah, dinamakan sebagai kesabaran jiwa (ash-shabr an-nafs), sedangkan menahan terhadap penyakit fisik, disebut sebagai sabar badani (ash-shabr al-badani). Kesabaran jiwa sangat dibutuhkan dalam berbagai aspek. Misalnya, untuk menahan nafsu makan dan seks yang berlebihan.

4.      Wara’
Wara’, secara harfiah, berarti saleh, menjauhkan diri dari perbuatan dosa atau maksiat. Sedangkan pengertian wara’ dalam pandangan sufi adalah meninggalkan segala sesuatu yang tidak jelas hukumnya, baik yang menyangkut makanan, pakaian, maupun persoalan lainnya. Menurut Qamar Kailani yang dikutip oleh Rivay A. Siregar, wara’ dibagi menjadi dua: wara’ lahiriyah danwara’ batiniyah. Wara’ lahiriyah adalah tidak mempergunakan segala yang masih diragukan dan meninggalkan kemewahan, sedangkan wara’ batiniyah adalah tidak menempatkan atau mengisi hati kecuali dengan mengingat Allah. Dalam kitab Al-Luma’ dijelaskan bahwa orang-orang wara’ dibagi menjadi tiga tingkatan. Pertama, wara’ orang yang menjauhkan diri dari syubhat. Kedua, wara’ orang yang menjauhkan diri dari sesuatu yang menjadi keraguan hati dan ganjalan di dada. Ketiga, wara’ orang arif yang sanggup menghayati dengan hati nurani.


5.      Faqr
Secara harfiah fakir biasanya diartikan sebagai orang yang berhajat, butuh atau orang miskin. Sedangkan dalam pandangan sufi fakir adalah tidak meminta lebih dari apa yang telah ada pada diri kita. Tidak meminta rezeki kecuali hanya untuk menjalankan kewajiban-kewajiban. Tidak meminta sungguhpun tak ada pada diri kita, kalau diberi diterima. Tidak meminta tetapi tidak menolak.



6.      Tawakkal
Secara harfiah tawakkal berarti menyerahkan diri. Menurut Sahal bin Abdullah bahwa awalnya tawakkal adalah apabila seorang hamba di hadapan Allah seperti bangkai di hadapan orang yang memandikannya, ia mengikuti semaunya yang memandikan, tidak dapat bergerak dan bertindak. Hamdun al-Qashshar mengatakan tawakkal adalah berpegang teguh pada Allah.
Al-Qusyairi lebih lanjut mengatakan bahwa tawakkal tempatnya di dalam hati, dan timbulnya gerak dalam perbuatan tidak mengubah tawakkal yang terdapat dalam hati itu. Hal itu terjadi setelah hamba meyakini bahwa segala ketentuan hanya didasarkan pada ketentuan Allah. Mereka menganggap jika menghadapi kesulitan maka yang demikian itu sebenarnya takdir Allah.
Pengertian tawakkal yang demikian itu sejalan pula dengan yang dikemukakan Harun Nasution. Ia mengatakan tawakkal adalah menyerahkan diri kepada qada dan keputusan Allah. Selamanya dalam keadaan tenteram, jika mendapat pemberian berterima kasih, jika mendapat apa-apa bersikap sabar dan menyerah kepada qada dan qadar Tuhan. Tidak memikirkan hari esok, cukup dengan apa yang ada untuk hari ini. Tidak mau makan, jika ada orang lain yang lebih berhajat pada makanan tersebut daripada dirinya. Percaya kepada janji Allah. Menyerah kepada Allah dengan Allah dan karena Allah.

7.      Ridha
Ridha, secara harfiah, berarti rela, senang dan suka. Sedangkan pengertiannya secara umum adalah tidak menentang qadha dan qadar Allah, menerima qadha dan qadar dengan hati senang. Mengeluarkan perasaan benci dari hati sehingga yang tinggal di dalamnya hanya perasaan senang dan gembira. Merasa senang menerima malapetaka sebagaimana merasa senang menerima nikmat. Tidak meminta surga dari Allah dan tidak meminta dijauhkan dari neraka. Sikap ridha ini merupakan kelanjutan rasa cinta atau perpaduan dari mahabbahdan sabar. Rasa cinta yang diperkuat dengan ketabahan akan menimbulkan kelapangan hati dan kesediaan yang tulus untuk berkorban dan berbuat apa saja yang diperintahkan oleh Allah Swt.
Menurut Abdullah bin Khafif, ridha dibagi menjadi dua macam: ridha dengan Allah dan ridha terhadap apa yang datang dari Allah. Ridha dengan Allah berarti bahwa seorang hamba rela terhadap Allah sebagai pengatur jagad raya seisinya, sedangkan ridha terhadap apa yang datang dari Allah yaitu rela terhadap apa saja yang telah menjadi ketetapan Allah Swt.

8.      Mahabbah
Mahabbah berasal dari kata ahabba-yuhibbu-mahabbatan yang berarti mencintai secara mendalam. Mahabbah pada tingkatan selanjutnya dapat diartikan suatu usaha sungguh-sungguh  dari seseorang untuk mencapai tingkat rohaniah tertinggi dengan terwujudnya kecintaan yang mendalam kepada Allah. Berkaitan dengan konsep mahabbah, Rabi’ah al-Adawiyah adalah peletak dasar mahabbahini. Mahabbah dalam pandangan Rabi’ah adalah cinta abadi kepada Allah yang melebihi cinta kepada siapa pun dan apapun. Cinta abadi yang tidak takut kepada apa saja, bahkan neraka sekalipun. Sebagaimana dalam syair Rabi’ah yang berbunyi:
“Kujadikan Engkau teman percakapan hatiku, Tubuh kasarku biar bercakap dengan insani, Jasadku biar bercengkrama tulangku, Isi hatiku tetap pada-Mu jua.”
Menurut Rabi’ah al-Adawiyah, Allah adalah salah satu yang seharusnya dicintai dan Dialah tujuan akhir dalam pencarian cinta yang abadi. Untuk menggapai kecintaan Ilahi, maka seorang sufi harus melatih dirinya untuk mencintai segala keindahan alam seisinya. Karena keindahan adalah ciri dari zat yang dicintai. Bagi Rabi’ah, rasa cinta kepada Allah menjadi salah satu motivasi dalam setiap perilakunya dan sekaligus merupakan tujuan pengabdiannya kepada Allah. Rabi’ah al-Adawiyah mengatakan; “Aku mencintai-Mu dengan dua dorongan cinta, cinta-rindu, karena aku menginginkan-Nya dan cinta karena Engkau patut mendapatkannya. Cinta-rindu menenggelamkan diriku untuk selalu mengingat dan menyebut-Mu. Cinta rindu membuatku lupa dengan orang yang selain yang kucinta, sedangkan cinta karena Engkau pantas dicintai adalah keterbukaan-Mu dari tirai penghalang sehingga aku dapat melihat-Mu dengan terang benderang. Aku tak pantas mendapatkan pujian untuk cinta pertama dan cinta kedua, tetapi segala puji untuk-Mu belaka pada cinta pertama dan cinta kedua.
Dalam pandangan Ath-Thusi, mahabbah dibagi menjadi tingkatan. Pertama, mahabbah al-‘ammah, yaitu cinta yang timbul dari belas kasihan dan kebaikan Allah kepada hamba-Nya. Kedua, hubb ash-shadiqin wa al-muttaqin,yaitu cinta yang timbul dari pandangan hati sanubari terhadap kebesaran, keagungan, kemahakuasaan, ilmu dan kekayaan Allah. Ketiga, mahabbah ash-shidiqin wa al-‘arifin, yaitu mahabbah yang timbul dari penglihatan dan ma’rifatpara sufi terhadap kekalnya kecintaan Allah yang tanpa ‘illat. Adapun tanda-tanda cinta seorang hamba terhadap Allah di antaranya adalah:
a.       Senang bertemu dengan kekasihnya (Allah) dengan cara saling membuka rahasia dan saling melihat satu sama lain.
b.      Melakukan segala hal yang disenangi kekasihnya. Atas nama cinta kepada Allah, rela menjalankan kewajiban yang diperintahkan.
c.       Senantiasa berzikir menyebut nama-Nya.
d.      Merasa tenang dan damai tatkala bermunajat dengan Allah dan membaca kitab-Nya.
e.       Tidak merasa gundah jika kelihangan sesuatu selain Allah dan merasa gundah jika waktunya terlewatkan tanpa mengingat Allah.
f.       Merasa nikmat saat menjalankan perintah Allah dan tidak menganggap perintah itu sebagai beban.
g.      Menyanyangi semua hamba Allah, berperilaku tegas kepada semua musuh Allah.

9.      Ma’rifat
 Ma’rifat berasal dari kata ‘arafa-ya’rifu-irfan-ma’rifat yang berarti pengetahuan atau pengalaman. Ma’rifat dapat pula berarti pengetahuan rahasia hakikat agama, yaitu ilmu yang lebih tinggi daripada ilmu yang didapat pada umumnya, dan merupakan pengetahuan yang objeknya bukan hal-hal yang bersifat zhahir, tetapi bersifat batin, yaitu pengetahuan mengenai rahasia-rahasia Tuhan melalui pancaran cahaya Ilahi. Adapun alat untuk memperoleh ma’rifat bersandar pada sir, qalb, dan ruh. Qalb yang telah suci akan dipancari cahaya Ilahi dan akan dapat mengetahui segala rahasia Tuhan. Pada saat itulah, seorang sufi sampai pada tingkatan ma’rifat. Dengan demikian, ma’rifat berhubungan dengan nur Ilahi dan berkaitan dengan nur Ilahi. Dalam al-Qur’an terdapat beberapa kata nur yang dihubungkan dengan Allah. Di antaranya adalah:
Ma’rifat dalam pandangan al-Ghazali adalah mengetahui rahasia Allah tentang segala yang ada. Al-Ghazali dalam Ihya’ ‘Ulum ad-Din membedakan jalan pengetahuan sampai kepada Tuhan antara orang awam, ulama dan sufi. Bagi orang awam, keyakinan akan pengetahuan tentang Allah dibangun atas dasar taqlid, yaitu hanya mengikuti perkataan orang lain tanpa menyelidikinya.
Bagi ulama, keyakinan akan Allah dibangun atas dasar pembuktian. Bagi sufi, keyakinan akan Allah dibangun atas dasar dzauq rohani dan kasyaf Ilahi. Ma’rifat dalam pandangan Dzun Nun al-Misri adalah pengetahuan hakiki tentang Tuhan. Menurutnya, ma’rifat hanya terdapat pada kaum sufi yang sanggup melihat Allah dengan hati sanubari mereka. Ma’rifat dipancarkan ke hati para sufi dengan pancaran cahaya suci Ilahi.
Ma’rifat menurut Syeikh Ibnu Athaillah As-Sakandari, siapapun yang merenung secara mendalam akan menyadari bahwa semua makhluk sebenarnya menauhidkan Allah SWT lewat tarikan nafas yang halus. Jika tidak, pasti mereka akan mendapat siksa. Pada setiap zarah, mulai dari ukuran sub-atomis (kuantum) sampai atomis, yang terdapat di alam semesta terdapat rahasia nama-nama Allah. Dengan rahasia tersebut, semuanya memahami dan mengakui keesaan Allah. Allah SWT telah berfirman,

Artinya: Hanya kepada Allah-lah sujud (patuh) segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan kemauan sendiri atau pun terpaksa (dan sujud pula) bayang-bayangnya di waktu pagi dan petang hari (QS Ar-Ra’d:15).

Jadi, semua makhluk mentauhidkan Allah dalam semua kedudukan sesuai dengan rububiyah Tuhan serta sesuai dengan bentuk-bentuk ubudiyah yang telah ditentukan dalam mengaktualisasikan tauhid mereka. Lebih lanjut Syeikh mengatakan bahwa sebagian ahli makrifat berpendapat bahwa orang yang bertasbih sebenarnya bertasbih dengan rahasia kedalaman hakikat kesucian pikirannya dalam wilayah keajaiban alam malakut dan kelembutan alam jabarut.
Sementara sang salik, bertasbih dengan dzikirnya dalam lautan qolbu. Sang murid bertasbih dengan qolbunya dalam lautan pikiran. Sang Pecinta bertasbih dengan ruhnya dalam lautan kerinduan. Sang Arif bertasbih dengan sirr-nya dalam lautan alam gaib. Dan orang shiddiq bertasbih dengan kedalaman sirr-nya dalam rahasia cahaya yang suci yang beredar di antara berbagai makna Asmaasma dan Sifat-sifat-Nya disertai dengan keteguhan di dalam silih bergantinya waktu. Dan dia yang hamba Allah bertasbih dalam lautan pemurnian dengan
kerahasian sirr-al-Asrar dengan memandang-Nya, dalam kebaqaan-Nya.[18]


B.     Ahwal
Secara bahasa, ahwal merupakan jamak dari kata tunggal hal yang berarti keadaan sesuatu (keadaan rohani). Menurut Syeikh Abu Nashr as-Sarraj, hal adalah sesuatu yang terjadi secara mendadak yang bertempat pada hati nurani dan tidak mampu bertahan lama, sedangkan menurut al-Ghazali, hal adalah kedudukan atau situasi kejiwaan yang dianugerahkan Allah kepada seseorang hamba pada suatu waktu, baik sebagai buah dari amal saleh yang mensucikan jiwa atau sebagai pemberian semata. Sehubungan dengan ini, Harun Nasution mendefinisikan halsebagai keadaan mental, seperti perasaan senang, persaan sedih, perasaan takut, dan sebagainya.
Jika berpijak dari beberapa pendapat para sufi di atas, maka tidak ada perbedaan, yang pada intinya, hal adalah keadaan rohani seorang hamba ketika hatinya telah bersih dan suci. Hal berlainan dengan maqam, hal tidak menentu datangnya, terkadang datang dan perginya berlangsung cepat, yang disebut lawaihdan ada pula yang datang dan perginya dalam waktu yang lama, yang disebutbawadih. Jika maqam diperoleh melalui usaha, akan tetapi hal bukan diperoleh melalui usaha, akan tetapi anugerah dan rahmat dari Tuhan. Maqam sifatnya permanen, sedangkan hal sifatnya temporer sesuai tingkatan maqamnya.Sebagaimana halnya dengan maqamat, dalam penentuan hal juga terdapat perbedaan pendapat di kalangan sufi. Adapun al- hal yang paling banyak disepakati adalah al-muraqabah, al-khauf, ar-raja’, ath-thuma’ninah, al-musyahadah, dan al-yaqin.Penjelasan tentang ahwal tersebut adalah sebagai berikut:

1.      Muraqabah
Muraqabah artinya merasa selalu diawasi oleh Allah SWT sehingga dengan kesadaran ini mendorong manusia senantiasa rajin melaksanakan perintah dan menjauhi larangan-Nya.
Sesungguhnya manusia hakikinya selalu berhasrat dan ingin kepada kebaikan dan menjunjung nilai kejujuran dan keadilan, meskipun tidak ada orang yang melihatnya.
Kehati-hatian (mawas diri) adalah kesadaran. Kesadaran ini makin terpelihara dalam diri seseorang hamba jika meyakini bahwa Allah SWT senantiasa melihat dirinya.
Syeikh Ahmad bin Muhammad Ibnu Al Husain Al Jurairy mengatakan, “Jalan kesuksesan itu dibangun di atas dua bagian. Pertama, hendaknya engkau memaksa jiwamu muraqabah (merasa diawasi) oleh Allah SWT. Kedua, hendaknya ilmu yang engkau miliki tampak di dalam perilaku lahiriahmu sehari-hari”.

2.      Khauf
Khauf adalah suatu sikap mental yang merasa takut kepada Allah karena kurang sempurna pengabdianya. Takut dan kawatir kalau Allah tidak senang kepadanya. Menurut  Ghozali Khauf adalah rasa sakit dalam hati karena khawatir akan terjadi sesuatu yang tidak disenagi dimasa sekarang.
Menurut al Ghozali Khauf terdiri dari tiga tingkatan atau tiga derajat, diantaranya adalah:
a.       Tingkatan Qashir (pendek), Yaitu khauf seperti kelembutan perasaan yang dimiliki wanita, perasaan ini seringkali dirasakan tatkala mendengarkan ayat-ayat Allah dibaca.
b.      Tingkatan Mufrith (yang berlebihan), yaitu khauf yang sangat kuat dan melewati batas kewajaran dan menyebabkan kelemahan dan putus asa, khauf tingkat ini menyebabkan hilangya kendali akal dan bahkan kematian, khauf ini dicela karena karena membuat manusia tidak bisa beramal.
c.       Tingkatan Mu’tadil (sedang), yaitu tingkatan yang sangat terpuji, ia berada pada khauf qashir dan mufrith.
Rasulullah SAW bersabda: "Apabila tubuh hamba menggigil karena takut kepada Allah SWT, dosa-dosanya berguguran seperti daun-daun yang berguguran dari pohon".
Abû al-Layts r.a. berkata, "Allah memiliki para malaikat di langit ketujuh. Mereka bersujud sejak Allah menciptakan mereka hingga hari kiamat. Mereka menggigil ketakutan karena takut kepada Allah SWT Apabila hari kiamat tiba, mereka mengangkat kepala dan berkata, Mahasuci Engkau, kami menyembah-Mu dengan penyembahan yang sebenar-benarnya".
Itulah firman Allah SWT: Mereka takut kepada Tuhan mereka yang di atas mereka dan melaksanakan apa yang diperintahkan (QS. an-Nahl [16]: 50). Yakni, mereka tidak berbuat maksiat kepada Allah sekejap mata pun.
Rasulullah SAW bersabda, "Apabila tubuh hamba menggigil karena takut kepada Allah SWT, dosa-dosanya berguguran seperti daun-daun yang berguguran dari pohon." Dikisahkan bahwa seorang laki-laki tertambat hatinya kepada seorang perempuan. Perempuan itu keluar untuk suatu keperluan. Laki-laki itu ikut pergi bersamanya. Ketika mereka berduaan di padang sahara, sementara orang lain sudah tertidur, laki-laki itu mengungkapkan isi hatinya kepada perempuan tersebut: Perempuan itu berkata,"Lihatlah, semua orang sudah tertidur.” Laki-laki itu senang mendengar kata-kata itu.
 Dia mengira bahwa perempuan itu telah memberikan jawaban kepadanya. Lalu, dia berdiri dan mengelilingi kafilah. Dia mendapati orang-orang sudah tertidur. Lalu, dia kembali kepada perempuan itu dan berkata, "Benar, mereka telah tidur." Namun, perempuan itu bertanya, "Apa pendapatmu tentang Allah, apakah Dia tidur pada saat ini?" Laki-laki itu menjawab, "Allah SWT tidak tidur. Dia tidak pernah terserang kantuk dan tidur". Perempuan itu berkata, "Zat yang tidak tidur dan tidak akan tidur selalu melihat kita walaupun orang lain tidak melihat kita. Karena itu, Allah lebih pantas untuk ditakuti." Akhirnya, laki-laki itu pun meninggalkan perempuan tadi karena takut kepada Sang Pencipta. Dia bertobat dan kembali ke kampung halamannya. Ketika dia meninggal, orang-orang bemimpi melihatnya. Ditanyakan kepadanya, "Apa tindakan Allah kepadamu?" Dia menjawab, "Dia mengampuniku karena ketakutanku itu. Dengan demikian, terhapuslah dosa tersebut."[2]



3.      Raja’
Raja’ dapat berarti berharap atau optimisme, yaitu perasaan senang hati karena menanti sesuatu yang diinginkan dan disenangi. Raja’ atau optimisme ini telah ditegaskan dalam al-Qur’an:


Artinya:
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.(Al-Baqarah: 218).
Orang yang harapan dan penantiannya mendorongnya untuk berbuat ketaatan dan mencegahnya dari kemaksiatan, berarti harapannya benar. Sebaliknya, jika harapannya hanya angan-angan, semenatara ia sendiri tenggelam dalam lembah kemaksiatan, harapannya sia-sia.
Raja’ menurut tiga perkara, yaitu:
a.       Cinta kepada apa yang diharapkannya.
b.      Takut bila harapannya hilang.
c.       Berusaha untuk mencapainya.
raja’ yang tidak dibarengi dengan tiga perkara itu hanyalah ilusi atau hayalan. Setiap orang yang berharap adalah juga orang yang takut (khauf). Orang yang berharap untuk sampai di suatu tempat tepat waktunya, tentu ia takut terlambat. Dan karena takut terlambat, ia mempercepat jalannya. Begitu pula orang yang mengharap rida atau ampunan Tuhan, diiringi pula dengan rasa takut akan siksaan Tuhan.



4.      Thuma’ninah
Thuma’ninah adalah rasa tenang, tidak ada rasa was-was atau khawatir, tak ada yang dapat mengganggu perasaan dan pikiran, karena ia telah mencapai tingkat kebersihan jiwa yang paling tinggi. Seseorang yang telah mencapai tingkatan thuma’ninah, ia telah kuat akalnya, kuat imannya dan ilmunya serta bersih ingatannya. Jadi, orang tersebut merasakan ketenangan, bahagia, tentram dan ia dapat berkomunikasi langsung dengan Allah. Thuma’ninah dibagi menjadi tiga tingkatan. Pertama, ketenangan bagi kaum awam. Ketenangan ini didapatkan ketika seorang hamba berzikir, mereka merasa tenang karena buah dari berzikir adalah terkabulnya doa-doa. Kedua, ketenangan bagi orang-orang khusus. Mereka di tingkat ini merasa tenang karena mereka rela, senang atas keputusan Allah, sabar atas cobaan-Nya, ikhlas dan takwa. Ketiga, ketenangan bagi orang-orang paling khusus. Ketenangan di tingkat ini mereka dapatkan karena mereka mengetahui bahwa rahasia-rahasia hati mereka tidak sanggup merasa tentram kepada-Nya dan tidak bisa tenang kepada-Nya, karena kewibawaan dan keagungan-Nya.



5.      Uns
Uns (suka cita) dalam pandangan sufi adalah sifat merasa selalu berteman, tak pernah merasa sepi. Dalam keadaan seperti ini, seorang sufi merasakan tidak ada yang dirasa, tidak ada yang diingat, tidak ada yang diharap kecuali Allah. Segenap jiwa terpusat bulat kepada-Nya, sehingga ia seakan-akan tidak menyadari dirinya lagi dan berada dalam situasi hilang kesadaran terhadap alam sekitarnya. Situasi kejiwaan seperti itulah yang disebut al-Uns. Ada sebuah ungkapan yang menggambarkan al-Uns sebagai berikut: “Ada orang yang merasa sepi dalam keramaian. Ia adalah orang yang selalu memikirkan kekasihnya, sebab sedang dimabuk cinta, seperti halnya sepasang pemuda dan pemudi. Ada pula orang yang bising dalam kesepian. Ia adalah orang selalu memikirkan atau merencanakan tugas pekerjaannya semata-mata. Adapun engkau selalu berteman di manapun berada. Alangkah mulianya engkau berteman dengan Allah. Artinya engkau selalu berada dalam pemeliharaan Allah.
Seorang hamba yang merasakan Uns dibedakan menjadi tiga kondisi. Pertama, seorang hamba yang merasakan suka cita berzikir mengingat Allah dan merasa gelisah di saat lalai. Merasa senang di saat berbuat ketaatan dan gelisah berbuat dosa. Kedua, seorang hamba yang merasa senang dengan Allah dan gelisah terhadap bisikan-bisikan hati, pikiran dan segala sesuatu selain Allah yang akan menghalanginya untuk dekat dengan Allah. Ketiga, yaitu kondisi yang tidak lagi melihat suka citanya karena adanya wibawa, kedekatan, kemuliaan dan mengagungkan disertai dengan suka cita.[3]

6.      Musyahadah
Musyahadah secara harfiah adalah menyaksikan dengan mata kepala. Secara terminologi, tasawuf adalah menyaksikan secara jelas dan sadar apa yang dicarinya (Allah) atau penyaksian terhadap kekuasaan dan keagungan Allah. Seorang sufi telah mencapai musyahadah ketika sudah merasakan bahwa Allah telah hadir atau Allah telah berada dalam hatinya dan seseorang sudah tidak menyadari segala apa yang terjadi, segalanya tercurahkan pada yang satu, yaitu Allah, sehingga tersingkap tabir yang menjadi senjangan antara sufi dengan Allah. Dalam situasi seperti itu, seorang sufi memasuki tingkatan ma’rifat, di mana seorang sufi seakan-akan menyaksikan Allah dan melalui persaksiannya tersebut maka timbullah rasa cinta kasih.
            Perpaduan antara pengetahuan dan rasa cinta yang mendalam lagi dengan adanya perjumpaan secara langsung, maka tertanamlah dalam qalb perasaan yang mantap tentang Allah. Perasaan mantapnya pengetahuan yang diperoleh dari pertemuan secara langsung itulah yang dinamakan al-yaqin. Jadi, al-yaqin berarti perpaduan antara pengetahuan yang luas serta mendalam dan rasa cinta serta rindu yang mendalam pula sehingga tertanamlah dalam jiwanya perjumpaan secara langsung dengan Tuhannya. Dalam pandangan al-Junaid, yaqin adalah tetapnya ilmu di dalam hati, tidak berbalik, tidak berpindah dan tidak berubah.







Analisis
MAqrifat dalam bahasa sufi
            Seorang manusia itu dapat merasakan kehadiran Allah ketika ia melakukan pengorbanan tanpa mengharapkan apa-apa (tulus), sehingga apapun yang digali tidak akan merasa haus akan pahala, melainkan hanya menginginkan ridha Allah SWT. Bagaikan seseorang yang melintasi gurun melewati oase-oase yang sangat jauh tetapi ia tidak merasakan haus sedikitpun.
            Astagfirullah wa’atubu ilaik bagi seorang sufi adalah pembuka musyahadah terhadap khoas, tetapi bagi orang biasa ia hanya melakukan istigfar.
            Sabar bagi seorang sufi dalam melihat sebuah masalah seperti sebuah musibah atau sakit dipandang bukan sebagai hal yang rugi, melainkan sufi memandang itu sebagai nikmat dan ia yakin Allah akan menaikkan derajatnya.




















BAB III
PENUTUP


A.    Kesimpulan

Dalam ilmu Tasawuf, maqamat berarti kedudukan hamba dalam pandangan Allah berdasarkan apa yang telah diusahakan, baik melalui riyadhah, ibadah, maupunmujahadah. Di samping itu, maqamat berarti jalan panjang atau fase-fase yang harus ditempuh oleh seorang sufi untuk berada sedekat mungkin dengan Allah. Maqam dilalui seorang hamba melalui usaha yang sungguh-sungguh dalam melakukan sejumlah kewajiban yang harus ditempuh dalam jangka waktu tertentu. Seorang hamba tidak akan mencapai maqam berikutnya sebelum menyempurnakan maqam sebelumnya.
Berkaitan dengan macam-macam maqamat yang harus ditempuh oleh seorang salik untuk berada sedekat mungkin dengan Allah, para sufi memiliki pendapat yang berbeda-beda. Dalam pada itu Imam al-Ghazali dalam kitabnya Ihya’ Ulum al-Dinmengatakan bahwa maqamat itu ada delapan, yaitu al-taubah, al-shabr, al-tawakkal, dan al-ridla. Sedangkan al-tawaddlu, al-mahabbah, dan al-ma’rifah oleh mereka tidak disepakati sebagai maqamat. Sementara itu Abu Nasr al-Sarraj al-Tusi dalam kitab al-Luma’ menyebutkan jumlah maqamat hanya tujuh , yaitu al-taubah, al-wara’, al-zuhud, al-faqr, al-tawakkal dan al-ridla. Sedangkan menurut Muhammad al-Kalabazy, maqamat terdiri dari sepuluh tingkatan, yaitu taubat, zuhud, sabar, faqr, tawadhu’, takwa, tawakkal, ridha, mahabbah, dan ma’rifat.
Sedangkan dalam ilmu Tasawuf, hal adalah kedudukan atau situasi kejiwaan yang dianugerahkan Allah kepada seseorang hamba pada suatu waktu, baik sebagai buah dari amal saleh yang mensucikan jiwa atau sebagai pemberian semata.
Jika berpijak dari beberapa pendapat para sufi di atas, maka tidak ada perbedaan, yang pada intinya, hal adalah keadaan rohani seorang hamba ketika hatinya telah bersih dan suci. Hal berlainan dengan maqam, hal tidak menentu datangnya, terkadang datang dan perginya berlangsung cepat, yang disebut lawaihdan ada pula yang datang dan perginya dalam waktu yang lama, yang disebutbawadih
dalam penentuan hal juga terdapat perbedaan pendapat di kalangan sufi. Adapun al- hal yang paling banyak disepakati adalah al-muraqabah, al-khauf, ar-raja’, ath-thuma’ninah, al-musyahadah, dan al-yaqin.

B.     Saran
        Untuk memahami ilmu tasawuf khususnya dalam maqamat dan ahwal,hendaknya tidak hanya tertumpu pada satu literatur saja. Oleh karena itu makalah ini semoga menjadi pemacu penyusun khususnya dan penyusun berikutnya pada umumnya untuk lebih mendalami ilmu tasawuf, sehingga apa yang sudah dijelaskan dalam makalah ini bisa diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari menjadi lebih baik sesuai dari tujuan ilmu tasawuf itu sendiri.`





















DAFTAR PUSTAKA


Anwar, Rosibon dan Mukhtar, Solihin. Ilmu Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia.2004
Asmaran, As. Pengantar Studi Tasawuf. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2002
Syukur, Amin. Zuhud Di Abad Modern. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2004
Syukur, Amin. Tasawuf Kontekstual Solusi Problem Manusia Modern. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.2003
Tim penyusun MKD IAIN Sunan Ampel. Akhlak Tasawuf. Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press. 2011
Yusuf, Anwar Ali, Studi Agama Islam Untuk Perguruan Tinggi. Bandung: Pustaka Setia. 2003
Nata, Abuddin. Akhlak Tasawuf. Jakarta: Rajawali Pers. 2011




[1]Asmaran, As. Pengantar Studi Tasawuf. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2002
[2]Yusuf, Anwar Ali, Studi Agama Islam Untuk Perguruan Tinggi. Bandung: Pustaka Setia. 2003

[3]Syukur, Amin. Tasawuf Kontekstual Solusi Problem Manusia Modern. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.2003