Monday, March 28, 2016

Makalah Tentang Filsafat Pra Socrates serta tokoh-tokohnya

BAB I
PENDAHULUAN
1.1.  Latar Belakang
Dalam menghadapi seluruh kenyataan dalam hidupnya, manusia senantiasa terkagum atas apa yang dilihatnya. Manusia ragu-ragu apakah ia tidak ditipu oleh panca-inderanya, dan mulai menyadari keterbatassannya. Dalam situsi itu banyak yang berpaling kepada agama atau kepercayaan ilahiah.
     Tetapi sudah sejak awal sejarah, ternyata sikap iman penuh taqwa itu tidak menahan manusia menggunakan akal budi dan pikirannya untuk mencari tahu apa sebenarnya yang ada dibalik segala kenyataan (realitas) itu. Proses  mencari tahu itu menghasilkan kesadaran, yang disebut pencerahan. Jika proses itu memiliki ciri-ciri metodis, sistematis dan koheren, dan cara mendapatkannya dapat dipertanggungjawabkan, maka lahirlah ilmu pengetahuan.
     Jauh sebelum manusia menemukan dan menetapkan apa yang sekarang ini kita sebut sesuatu sebagai suatu disiplin ilmu sebagaimana kita mengenal ilmu kedokteran, fisika, matematika, dan lain sebagainya. Umat manusia lebih dulu memifikrkan dengan bertanya tentang berbagai hakikat apa yang mereka lihat. Dan jawaban mereka itulah yang nanti akan kita sebut sebagai sebuah jawaban filsafati.
     Kegiatan manusia yang memiliki tingkat tertinggi adalah filsafat yang merupakan pengetahuan benar meneganai hakikat segala yang ada sejauh mungkin bagi manusia. Bagian filsafat yang paling mulia adalah filsafat pertama, yaitu pengetahuan kebenaran pertama yang merupakan sebab dari segala kebenaran.
Meski bagaimanapun banyaknya gambaran yang kita dapatkan tentang filsafat, sebenarnya masih sulit untuk mendefinisikan secara konkret apa itu filsafat dan apa kriteria suatu pemikiran masih sulit untuk mendefinisikan secara konkret apa itu filsafat dan apa kriteria suatu pemikiran hingga kita bisa memvonisnya,karena filsafat bukanlah sebuah disiplin ilmu. Sebagaimana definisinya, sejarah dan perkembangan filsafat pun takkan pernah habis untuk dikupas. Tapi justru itulah mengapa filsafat begitu layak untuk dikaji demi mencari serta memaknai segala esensi kehidupan. 



1.2  Rumusan masalah 
1.  Bagaimana sejarah filsafat yunani ( filsafat alam ) sebelum socrate?

1.3  Tujuan 
1.  Untuk mengetahui sejarah fisafat yunani sebelum Socrates.






BAB II
PEMBAHASAN

2.1  Filsafat Yunani pada masa Pra-Socrates.

Filsafat Pra Socrates Bangsa Yunani merupakan bangsa yang pertama kali berusaha menggunakan akal untuk berpikir. Kegemaran bangsa Yunani merantau secara tidak langsung menjadi sebab meluasnya tradisi berpikir bebas yang dimiliki bangsa Yunani.
Menurut Barthelemy, kebebasan berpikir bangsa Yunani disebabkan karna di Yunani sebelumnya tidak pernah ada agama yang didasarkan pada kitab suci. Keadaan tersebut jelas berbeda dengan Mesir, Persia, dan India. Sedangkan Livingstone berpendapat bahwa adanya kebebasan berpikir bangsa Yunani dikarenakan kebebasan mereka dari agama dan politik secara bersamaan . Lahirnya filsafat pra socrates juga disebabkan karena kemenangan akal atas dongeng atau mitos yang diterima dari agama yang memberitahukan tentang asal muasal segala sesuatu. Para pemikir atau ahli filsafat ini mencoba untuk mencari-cari jawaban tentang akibat terjadinya alam semesta beserta isinya.
Filsafat Pra Socrates juga dapat dikatakan sebagai filsafat alam, karena para ahli filsafat dimasa tersebut menjadikan alam semesta sebagai objek pemikirannya. Tujuan filosofi mereka dalam memikirkan soal alam semesta yaitu untuk mengetahui darimana terjadinya alam atau darimana alam ini berasal, hal inilah yang menjadi sentral persoalan bagi mereka. Pemikiran yang demikian itu merupakan pemikiran yang sangat maju, rasional dan radikal. Sebab pada waktu itu kebanyakan orang menerima begitu saja keadaan alam seperti apa yang dapat ditangkap dengan indranya, tanpa mempersoalkannya lebih jauh. Sedang di lain pihak orang cukup puas menerima keterangan tentang kejadian alam dari cerita nenek moyang.
Filosuf yang hidup pada masa pra Socrates disebut para filosuf alam karena objek yang mereka jadikan pokok persoalan adalah alam. Yang dimaksud dengan alam (fusis) adalah kenyataan hidup dan kenyataan badaniah. Jadi, perhatian mereka mengarah kepada apa yang dapat diamati .
Ada beberapa filosof pada masa pra socrates, yaitu :


A.  Thales
Thales adalah ahli filsafat pertama yang hidup  pada abad ke-6 sebelum masehi. Thales adalah seorang saudagar yang sering berlayar ke Mesir. Ia menemukan ilmu ukur dari Mesir dan membawanya ke Yunani. Ia juga dikenal sebagai seorang yang ahli dalam bidang astronomi dan metafisika. 
Thales memberikan jawaban bahwa segala sesuatu berasal dari air, ia juga menyatakan bahwa bumi ini berasal dari air. Air adalah pusat dan sumber segala yang ada atau pokok dari segala sesuatu. Segala sesuatu berasal dari air dan kembali ke air. Dari air itu terjadilah tumbuh-tumbuhan dan binatang, bahkan tanah pun mengandung air. Argumen Thales merupakan argument yang bukan hanya rasional, tetapi juga observatif.
Pandangan Thales merupakan cara berpikir yang sangat tinggi, karena sebelumnya, orang-orang Yunani lebih banyak mengambil jawaban-jawaban tentang alam dengan kepercayaan dan mitos-mitos yang dipenuhi dengan ketakhayulan. Thales telah membuka alam pikiran dan keyakinan tentang alam dan asal muasalnya tanpa menunggu dalil-dalil yang agamis. 
Selain itu, ia juga mengemukakan pandangan bahwa bumi terletak di atas air. Bumi dipandang sebagai bahan yang satu kali keluar dari laut dan kemudian terapung-apung di atasnya. 
Thales berpendapat bahwa segala sesuatu di jagat raya memiliki jiwa. Jiwa tidak hanya terdapat di dalam benda hidup tetapi juga benda mati. Teori tentang materi yang berjiwa ini disebut hylezoisme. Argumentasi Thales didasarkan pada magnet yang dikatakan memiliki jiwa karena mampu menggerakkan besi.


B.  Anaximandros 
Anaximandros adalah salah satu murid Thales. Anaximandros adalah seorang ahli astronomi dan ilmu bumi. Meskipun dia murid Thales namun ia mempunyai prinsip dasar alam satu akan tetapi bukanlah dari jenis benda alam seperti air sebagai mana yang dikatakan oleh gurunya.
Prinsip dasar alam haruslah dari jenis yang tak terhitung dan tak terbatas yang oleh dia disebut Apeiron yaitu zat yang tak terhingga dan tak terbatas serta tidak dapat dirupakan dan tidak ada persamaannnya dengan apapun. Meskipun tentang teori asal kejadian alam tidak begitu jelas namun dia adalah seorang yang cakap dan cerdas. Pendapatnya yang lain yaitu, bumi seperti silinder, lebarnya tiga kali lebih besar dari tingginya. Sedangkan bumi tidak terletak atau bersandar pada sesuatu pun .


C.  Anaximenes
Anaximenes berpendapat bahwa udara merupakan asal usul segala sesuatu. Udara melahirkan semua benda dalam alam semesta ini karena suatu proses pemadatan dan pengeceran, kalau udara semakin bertambah maka muncullah berturut-turut angin, air, tanah dan akhirnya batu. Sebaliknya kalau udara itu menjadi encer yang timbul adalah api.
Pandangan Anaximenes tentang susunan jagat raya bertolak belakang dengan Anaximandros. Menurut Anaximenes bumi ini seperti meja bundar dan melayang di atas udara. Demikian pula matahari, bulan dan bintang. Benda-benda yang ada dijagad raya itu tidak terbenam di bawah bumi sebagaimana yang dipikirkan Anaximandros tetapi mengelilingi bumi yang datar itu, matahari lenyap pada waktu malam tertutup di belakang bagian-bagian tinggi .


D.  Pythagoras 
Pythagoras lahir dipulau Samos yang termasuk daerah Ionia. Dalam kota ini Pythagoras mendirikan suatu tarekat beragama yang bersifat religious, mereka menghomati dewa Apollo.
Menurut kepercayaan Pythagoras, jiwa manusia asalnya dari Tuhan, jiwa itu adalah penjelmaan dari tuhan yang jatuh kedunia karena berdosa dan dia akan kembali kelangit kedalam lingkungan tuhan semula apabila dosanya itu sudah habis dicuci, hidup didunia ini adalah persediaan buat akhirat. Sebab itu dari sekarang dikerjakan hidup untuk hari kemudian.
Pythagoras tersebut juga sebagai ahli pikir. Terutama dalam ilmu matematik dan ilmu berhitung. Falsafah pemikirannya banyak diilhami oleh rahasia angka-angka. Dunia angka adalah dunia kepastian dan dunia ini erat hubungannya dengan dunia bentuk. Dari sini dapat dilihat kecakapannya dia dalam matematik mempengaruhi terhadap pemikiran filsafatnya sehingga pada segala keadaan ia melihat dari angka-angka dan merupakan paduan dari unsur angka.


E.  Heraclitos
Ia lahir dikota Ephesos diasi minor, ia mempunyai pendangan yang berbeda dengan filosof-filosof sebelumnya. Ia menyatakan bahwa asal segala suatu hanyalah satu yakni api. Ia memandang bahwa api sebagai unsur yang asal pandangannya semata-mata tidak terikat pada alam luaran, alam besar, seperti pandangan filosof-filosof Miletos.
Segala kejadian didunia ini serupa dengan api yang tidak putusnya dengan berganti-ganti memakan dan menghidupi dirinya sendiri segala permulaan adalah mula dari akhirnya. Segala hidup mula dari pada matinya. Didunia ini tidak ada yang tetap semuanya mengalir. Tidak sulit untuk mengerti apa sebab Heraklitos memilih api. Nyala api senantiasa memakan bahan bakar yang baru dan bahan bakar itu dan berubah menjadi abu dan asap. Oleh karena itu api cocok sekali untuk melambangkan suatu kesatuan dalam perubahan. Api mempunyai sifat memusnahkan segala yang ada, dan mengubah segala sesuatu itu menjadi abu dan asap. Walaupun sesuatu itu apabila dibakar menjadi abu dan asap, toh adanya api tetap ada. Segala sesuatunya berasal dari api, dan akan kembali menjadi api . Pernyataan itu mengandung pengertian bahwa kebenaran selalu berubah, tidak tetap. Pengertian adil pada hari ini belum tentu masih benar besok. Hari ini 2 x 2 = 4 besok dapat saja bukan empat. Pandangan ini merupakan warna dasar filsafat sofisme .



BAB III
PENUTUP

1.  Kesimpulan

Dari penjelasan di atas dapat diambil kesimpulan, yaitu :
-  Pada masa pra-socrates para filusuf mengkaji tentang asal muasal alam semesta beserta isinya.
Ada beberapa filosof pada masa pra socrates, yaitu :
1)      Thales 624-625 SM : menyatakan bahwa air adalah prinsip dasar (dalam bahasa Yunani arche) segala sesuatu. Air menjadi pangkal, pokok, dan dasar dari segala-galanya yang ada di alam semesta. Berkat kekuatan dan daya kreatifnya sendiri, tanpa ada sebab-sebab di luar dirinya, air mampu tampil dalam segala bentuk, bersifat mantap, dan tak terbinasakan. Argumentasi Thales terhadap pandangan tersebut adalah bagaimana bahan makanan semua makhluk hidup mengandung air dan bagaimana semua makhluk hidup juga memerlukan air untuk hidup. Selain itu, air adalah zat yang dapat berubah-ubah bentuk (padat, cair, dan gas) tanpa menjadi berkurang.
2)      Anaximandros : Prinsip dasar alam haruslah dari jenis yang tak terhitung dan tak terbatas yang oleh dia disebut Apeiron yaitu zat yang tak terhingga dan tak terbatas dan tidak dapat dirupakan tidak ada persamaannnya dengan apapun.
3)      Anaximanes : berpendapat bahwa udara merupakan asal usul segala sesuatu. Udara melahirkan semua benda dalam alam semesta ini karena suatu proses pemadatan dan pengeceran, kalau udara semakin bertambah maka muncullah berturut-turut angin, air, tanah dan akhirnya batu. Sebaliknya kalau udara itu menjadi encer yang timbul adalah api.
4)      Pythagoras (582-496 SM) : Pythagoras dan murid-muridnya percaya bahwa segala sesuatu di dunia ini berhubungan dengan matematika, dan merasa bahwa segalanya dapat diprediksikan dan diukur dalam siklus beritme. Ia percaya keindahan matematika disebabkan segala fenomena alam dapat dinyatakan dalam bilangan-bilangan atau perbandingan bilangan.
5)      Heraclitos : Heraclitos mengemukakan pendapatnya, bahwa segala yang ada selalu berubah dan sedang menjadi, ia mempercayai bahwa arche (asas yang pertama dari alam semesta) adalah api. Karena api dianggapnya sebagai lambang perubahan dan kesatuan. Api mempunyai sifat memusnahkan segala yang ada, dan mengubahnya sesuatu itu menjadi abu dan asap. Walaupun sesuatu itu apabila dibakar menjadi abu dan asap, toh adanya api tetap ada. Segala sesuatunya berasal dari api, dan akan kembali menjadi api.


2.  kritik dan saran
Didalam pembuatan makalah ini tentunya penulis memiliki banyak kekeliruan yang mungkin tidak disadari oleh penulis. Dari itu, diharapkan kepada seluruh pembaca, jika menemukan kekeliruan dalam makalah yang saya buat ini, maka penulis berharap pembaca dapat memberikan kritik dan saran yang membangun, supaya penulis tidak lagi melakukan kesalahan yang sama. Dan demi mewujudkan karya-karya ilmiah yang lebih baik.



DAFTAR PUSTAKA

Hadiwijono, Harun, 1980. Sari Sejarah Filsafat Barat 1,Kanisus : Yogyakarta
http://kevinevolution.wordpress.com/2011/11/02/filsafat-pra-socrates/
http://kevinevolution.wordpress.com/2011/11/02/filsafat-pra-socrates/
http://cahayaibnuadam.blogspot.com/2012/02/filsafat-yunani-kuno-pra-socrates.html
http://pendulangan.wordpress.com/2012/09/26/sejarah-perkembangan-filsafat-yunani-kuno/ 
http://khairuddinhsb.wordpress.com/2009/07/19/filsafat-sesudah-masa-socrates-2/ 
Muzairi, 2009. Filsafat Umum, Yogyakarta : Teras 
Tafsir, Ahmad, 2010, Filsafat Umum, Bandung : Remaja Rosdakarya




________________________________________

Monday, March 14, 2016

Makalah Tentang Tafsir Falsafi Beserta Dengan Metode-Metode Dan Corak-Corak Tafsir Serta Contoh Kitab Tafsir Falsafi

MAKALAH

“TAFSIR FALSAFI”

DALAM MATA KULIAH TAUHID


Dosen Pengampu :




images (1).jpg




DisusunOleh :

Ahmad Fadli (1531010018)


JURUSAN FILSAFAT AGAMA

FAKULTAS USHULUDDIN

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI RADEN INTAN LAMPUNG

TAHUN AJARAN

2016/2017



KATA PENGANTAR


Puji syukur kehadirat Allah SWT,karna berkat rahmatnya penulis dapat menyelesaikan makalah yang membahas tentang “TAFSIR FALSAFI” makalah ini di ajukan guna memenuhi tugas mata kuliah Bahasa Indonesia.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu sehingga makalah ini dapat di selesaikan tepat pada waktunya. Makalah ini masih jauh dari sempurna,oleh karna itu,kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan dari sempurnanya makalah ini.

Harapan penulis semoga makalah ini memberikan informasi bagi pembaca dan bermanfaat untuk pengembangan wawasan dan peningkatan ilmu pengetahuan bagi kita semua. Dan yang lebih khusus bagi mahasiswa yang ingin lebih mengetahui tentang Tafsir Falsafi.


                                                                        Selasa, 15 Maret 2016



                                                                        Penulis



























DAFTAR ISI


Halaman Judul................................................................................................ i

Kata Pengentar............................................................................................... ii

Daftar isi.......................................................................................................... iii

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang............................................................................... 1

1.2 Rumusan Masalah........................................................................... 1



PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Tafsir......................................................................................... 2
2.2 Sejarah Munculnya Tafsir Falsafi...............................................................4
2.3 Metode Penafsiran AL-Qur’an................................................................... 6
2.4 Corak-Corak Tafsir..................................................................................... 15

2.5 Contoh Kitab-kitab Tafsir Falsafi...............................................................18     


DAFTAR PUSTAKA








 BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tafsir Falsafi berarti Penjelasan tentang kebenaran makna ayat Quran dengan menggunakan petunjuk yang nyata, serta menggunakan pola pikir yang radikal, sistematis dan universal agar didapat satu kebenaran yang rasional.
Tafsir Falsafi sangat bertentangan dengan Agama Islam, dan penafsiran dengan metode Falsafi ini jauh dari pemahaman nash, sehingga apabila dilakukan, maka akan sama dengan menjadikan agama sebagai filsafat. Di sudut lain bagi kelompok yang mendukung Tafsir dengan metode falsali ini berpendapat bahwa antara falsafah dengan agama Islam tidak ada pertentangan yang signifikan, sebab menurut mereka pada dasarnya wahyu Allah swt. itu tidak bertentangan dengan akal, oleh sebab itu, mereka membuat metode sinergis, dengan mengintegrasikan agama dengan filsafat, yang dimanifestasikan dalam bentuk pemberian takwil pada nas A1 Quran yang tertentu dan memberikan kejelasan sesuai dengan pola pemikiran nalar.

1.2 Rumusan Masalah
1. Pengertian Tafsir?
2. Sejarah Munculnya Tafsir Falsafi?
3. Metode Penafsiran AL-Qur’an?
4. Corak-Corak Tafsir?
5. Contoh Kitab-kitab Tafsir Falsafi?











BAB II
PEMBAHASAN

2.1      Pengertian Tafsir Falsafi

Tafsir falsafi menurut Quraisy Shihab adalah upaya penafsiran Al Qur’an dikaitkan dengan persoalan-persoalan filsafat. Tafsir falsafi, yaitu tafsir yang didominasi oleh teori-teori filsafat sebagai paradigmanya. Ada juga yang mendefisnisikan tafsir falsafi sebagai penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an dengan menggunakan teori-teori filsafat. Hal ini berarti bahwa ayat-ayat Al Qur’an dapat ditafsirkan dengan menggunakan filsafat. Karena ayat Al Qur’an bisa berkaitan dengan persoalan-persoalan filsafat atau ditafsiri dengan menggunakan teori-teori filsafat.
Tafsîr al-Falâsifah, yakni menafsirkan ayat-ayat al-Qur`an berdasarkan pemikiran atau pandangan falsafi, seperti tafsir bi al-ra`y. Dalam hal ini ayat lebih berfungsi sebagai justifikasi pemikiran yang ditulis, bukan pemikiran yang menjustifikasi ayat. seperti tafsir yang dilakukan al-Farabi, ibn Sina, dan ikhwan al-Shafa. Menurut Dhahabi, tafsir mereka ini di tolak dan di anggap merusak agama dari dalam. 
Al Qur’an adalah sumber ajaran dan pedoman hidup umat Islam yang pertama, kitab suci ini menempati posisi sentral dalam segala hal yaitu dalam pengembangan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan keislaman. Pemahaman ayat-ayat Al Qur’an melalui penafsiran mempunyai peranan yang sangat besar bagi maju mundurnya peradaban umat Islam. Di dalam menafsirkan Al Qur’an terdapat beberapa metode yang dipergunakan sehingga membawa hasil yang berbeda-beda pula, sesuai dengan sudut pandang dan latar belakang penafsir masing-masing. Sehingga timbullah berbagai corak penafsiran seperti tafsir shufi, ilmi, adabi, fiqhi dan falsafi dan lain-lain yang tentunya juga akan menimbulkan pembahasan yang luas serta pro-kontra dari zaman ke zaman.
Penafsiran terhadap Al Qur’an telah tumbuh dan berkembang sejak masa awal Islam. Sejalan dengan kebutuhan umat Islam untuk mengetahui seluruh segi kandungan Al Qur’an serta intensitas perhatian para ulama terhadap tafsir, maka tafsir Al Qur’an pun terus berkembang, baik pada masa ulama salaf maupun khalaf bahkan hingga sekarang. Pada tahapan-tahapan perkembangannya tersebut, muncullah karakteristik yang berbeda-beda baik dalam metode maupun corak penafsirannya.
Sejarah telah mencatat perkembangan tafsir yang begitu pesat, seiring dengan kebutuhan, dan kemampuan manusia dalam menginterpretasikan ayat-ayat Tuhan. Setiap karya tafsir yang lahir pasti memiliki sisi positif dan negatif, demikian juga tafsir falsafi yang cenderung membangun proposisi universal hanya berdasarkan logika dan karena peran logika begitu mendominasi, maka metode ini kurang memperhatikan aspek historisitas kitab suci. Namun begitu, tetap ada sisi positifnya yaitu kemampuannyamembangun abstraksi dan proposisi makna-makna latent (tersembunyi) yang diangkat dari teks kitab suci untuk dikomunikasikan lebih luas lagi kepada masyarakat dunia tanpa hambatan budaya dan bahasa. 
Dari pemahaman tersebut tidak tidak terlalu berlebihan kiranya kalau kita mengharapkan nantinya terwujudnya tafsir falsafi ideal, sebuah konsep tafir falsafi yang kontemporer yang tidak hanya berlandaskan interpretasi pada kekuatan logika tetapi juga memberikan perhatian pada realitas sejarah yang mengiringinya. Sebab pada prinsipnya teks Al Qur’an tidak lepas dari struktur historis dan konteks sosiokultural di mana ia diturunkan. Dengan demikian, akan lahir tarfir-tafsir filosofis yang logis dan proporsional, tidak spekulatif dan diberlebih-lebihan. Dan mungkin harapan tersebut tidak terlalu berlebihan karena disamping memang kita belum menemukan tafsir yang secara utuh menggunakan pendekatan filosofis, kalaupun ada itu hanya pemahaman beberapa ayat yang bisa kita temukan dalam buku-buku mereka.
Corak penafsiran ini akan sangat bermanfaat nantinya untuk membuka khazanah keislaman kita, sehingga kita nantinya akan mampu mengetahui maksud dari ayat tersebut dari berbagai aspek, terutama aspek filsafat. Metode berfikir yang digunakan filsafat yang bebas, radikal dan berada dalam dataran makna tentunya akan memperoleh hasil penafsiran yang lebih valid walaupun keberannya masih tetap relatif.
Namun kombinasi hasil penafsiran tersebut dengan aspek sosio-historis tentunya akan semakin menyempurnakan eksistensinya. Sehingga produk tafsir ini jelas akan lebih memikat dan kredibel dari pada tafsir lain.

2.2 Sejarah Munculnya Tafsir Falsafi

Pada saat ilmu-ilmu agama dan sain mengalami kemajuan, kebudayaan-kebudayaan Islam berkembang di wilayah-wilayah kekuasaan Islam dan penerjemahan buku-buku asing ke dalam bahasa Arab digalakkan pada masa khalifah Abbasiyah, diantara buku-buku yang diterjemahkan adalah buku-buku karangan para filosof seperti Aristoteles dan Plato. Pada perkembangan selanjutnya para ulama tafsir mencoba memahami Al-Qur’an dengan metode filsafat tersebut, maka lahirlah metode falsafi. 
Thaba’ Thaba’i dalam tafsir al-Mizan fi tafsir al-Qur’an berpendapat bahwa para filosof menggunakan pemikiran filsafat dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an. Sesuai dengan kecenderungan dan keilmuannya, Diantara tokoh filosof Islam adalah Al-Farabi, Ibnu-Shina. Thaba’ Thaba’i dalam tafsirnya memasukkan pembahasan filsafat sebagai tambahan dalam menerangkan suatu ayat atau menolak teori filsafat yang bertentangan dengan al-Qur’an. Ia menggunakan pembahasan filsafat hanya pada bagian ayat tertentu saja. 
Dalam hal ini, ulama Islam terbagi menjadi dua golongan yaitu sebagai berikut:
Pertama, Golongan yang menolok filsafat, karena mereka menemukan adanya pertentangan antara filsafat dan agama. Kelompok ini secara radikal menentang filsafat dan berusaha menjauhkan umat darinya. Tokoh pelopor kelompok ini adalah Imam al-Ghazali, karena itu ia mengarang kitab al-Isyaratdan kitab-kitab lain untuk menolak faham mereka. Demikian pula Fakhr al-Razi di dalam kitab tafsirnya mengemukakan paham mereka dan membatalkan teori-teori filsafat mereka karena dinilai bertentangan dengan agama dan al-Qur’an. Dia membeberkan ide-ide filsafat yang dipandang bertentangan, khususnya dengan al-Qur’an dan akhirnya ia menolak dengan tegas berdasarkan alasan dan dalil yang ia anggap memadai. 
Kedua, Golongan yang mengagumi dan menerima filsafat meskinya didalamnya terdapat ide-ide yang bertengan dengan nash-nash syar’i. Kelompok ini berupaya mengkompromikan antara filsafat dan agama serta berusaha untuk menyingkapkan segala pertentangan tersebut, namun usaha mereka belum mencapai titik temu secara final, melainkan masih berupaya memecahkan masalah secara setengah-setengah, sebab penjelasan mereka tentang ayat-ayat al-Qur’an semata-mata berangkat dari sudut pandang teori filsafat yang didalamnya banyak hal tidak mungkin diterapkan dan dipaksakan terhadap nash-nash al-Qur’an. 

Jadi sederhananya adalah ada dua alasan dalam mengkompromikan al-Qur’an dengan filsafat, yaitu:
1.      Cara pertama, mereka melakukan ta’wil terhadap nash-nash al-Qur’an sesuai dengan pandangan filosof. Yakni mereka menundukkan nash-nash al-Qur’an pada pandangan-pandangan filsafat. Sehingga keduanya nampak seiring sejalan.
2.      Cara kedua, adalah mereka menjelaskan nash-nash al-Qur’an dengan pandangan pandangan teori filsafat. Mereka menempatkan pandangan para filosof sebagai bagian primer yang mereka ikuti, dan menempatkan al-Qur’an sebagai bagian sekunder yang mengikuti filsafat. Yakni filsafat melampaui al-Qur’an. Cara ini lebih berbahaya dari cara yang pertama. 
Contoh Tafsir Falsafi adalah seperti dikatan al-Dzahabi menyebutkan penafsiran sebagian filosof yang mengingkari kemungkinan mi’raj Nabi Muhammad Saw., dengan fisik di samping ruhnya. Mereka hanya meyakini kemungkinan mi’raj Nabi Muhammad Saw., hanya dengan ruh tanpa jasad.
Di antara kitab tafsir yang ditulis berdasakan corak falsafi ini, yaitu dari golongan pertama yang menolak tafsir falsafat adalah:
1.      Mafatih Al-Ghaib, karya Fakhr al-Razi (w. 606 H)
2.      al-Isyarat, karya Imam al-Ghazali (w. 505 H)
Sedangkan dari golongan kedua seperti komentar al-Dzahabi tidak pernah mendengar bahwa diantara filosof mengarang kitab tafsir al-Qur’an secara lengkap, kerana sejauh ini tidak lebih dari sebagian pemahaman terhadat al-Qur’an secara parsial yang termuat dalam kitab falsafah yang mereka tulis. 
Penulisan secara parsial tafsir falsafi antara lain:
1.       Fushush al-Hikam, karya al-Farabi (w. 339 H)
2.      Rasail Ibn Sina, karya Ibn Sina (w. 370 H)
3.      Rasail Ikhwan al-Safa. 


2.3 Metode Penafsiran Al-Qur’an 

Metode tafsir Al-Qur’an terbagi menjadi tiga macam  yaitu :

1. Tafsir bi al-Ma’tsur 
adalah tafsir yang didasarkan pada periwayatan yaitu tafsir yang merujuk pada penafsiran AL-Qur’an dengan AL-Qur’an, atau penafsiran AL-Qur’an dengan al-Hadits melalui penuturan sahabat. Metode ini, merupakan dua tafsir tertinggi yang tidak dapat dibandingkan dengan sumber lain, karena menyaksikan disaat turunnya wahyu. Penafsiran merekalah yang layak untuk dijadikan sumber. Disamping itu mereka adalah orang yang dididik oleh Rasulullah SAW, dalam berbagai aspek.

2. Tafsir bi al-Ra’yi 
adalah tafsir yang didasarkan kepada nalar atau pengetahuan atau tafsir bi al-dirayah dan juga sering di sebut sebagai tafsir bi al ma’qul bagi para mufassir yang mengandalkan ijtihad mereka dan tidak didasarkan pada riwayat sahabat dan tabi’in. Sandaran meraka adalah bahasa, budaya arab yang terkandung didalamnya, pengetahuan entang gaya bahasa sehari-hari dan kesadaran akan pentingnya sains yang amat diperlukan oleh merka yang ingin menafsirkan AL-Qur’an.

3. Tafsir bi al-Isyari 
adalah tafsir yang berdasarkan atas isyarat (indikasi) ialah penafsiran ayat AL-Qur’an yang mengabaikan makna dhahirnya. Disebut juga bahwa penfsiran AL-Qur’an ini berdasarkan indikasi (isyrat) yang dapat diterima oleh sebagian orang yang sadar dan berpengetahuan atau tampak bagi orang yang memilika akhlak terpuji dan melawan hawa nafsu mereka. 

Metode Study atas hasil karya penafsiran para ulama sekarang ini, secara umum menunjukkan bahwa mereka menggunakan metode-metode penafsiran dalam empat cara (metode), yaitu :
1.  Ijmaly (global)
2.  Tahlily (analistis),
3.  Muqaran (perbandingan),
4.  Maudhu’i (tematik). 

1)  Metode Ijmali (Global)
a)  Pengertian
Yang dimaksud dengan metode al-Tafsir al-Ijmali (global) ialah suatu metoda tafsir yang menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan cara mengemukakan makna global. Pengertian tersebut menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an secara ringkas tapi mencakup dengan bahasa yang populer, mudah dimengerti dan enak dibaca. Sistematika penulisannya menurut susunan ayat-ayat di dalam muskhaf. Di samping itu penyajiannya tidak terlalu jauh dari gaya bahasa Al-Qur’an sehingga pendengar dan pembacanya seakan-akan masih tetap mendengar Al-Qur’an padahal yang didengarnya itu tafsirnya. Ketika menggunakan metode ini, para mufassir menjelaskan Al-Qur’an dengan bantuan sebab turun ayat (asbab an-nuzul), peristiwa sejarah, hadis nabi, atau pendapat ulama saleh.

b)  Kelebihan
-  Praktis dan mudah dipahami  oleh  ummat  dari berbagai  strata  sosial  dan  lapisan masyakat. 
-  Bebas  dari  penafsiran  kemungkinan israiliah maka  tafsir ijmali  relatif murni  dan  terbebas  dari  pemikiran-pemikiran  Israiliat  dapat dibendung pemikiran-pemikiran yang kadang-kadang terlalu jauh dari pemahaman ayat-ayat al-Qur’an seperti pemikiran-pemikiran spekulatif .
-   Akrab dengan bahasa al-Qur’an: karena tafsir ini dengan metode global menggunakan bahasa yang singkat dan akrab dengan bahasa arab tersebut.

c)  Kelemahan
-  Menjadikan  petunjuk al-Qur’an bersifat parsial: padahal al-Qur’an merupakan satu-kesatuan yang utuh, sehingga satu ayat dengan ayat yang lain membentuk satu pengertian yang  utuh, tidak terpecah-pecah dan berarti, hal-hal yang global atau samar-samar di dalam suatu ayat, maka pada ayat yang lain ada penjelasan yang lebih rinci. Dengan menggabungkan kedua ayat tersebut akan diperoleh suatu pemahaman yang utuh dan dapat terhindar dari kekeliruan.
-  Tidak ada ruangan untuk mengemukakan analisis yang memadai: Tafsir yang memakai metode  ijmali  tidak menyediakan  ruangan untuk memberikan uraian yang luas, jika menginginkan  adanya  analisis  yang  rinci, metode global tak dapat diandalkan. Ini disebut suatu kelemahan yang disadari oleh mufassir yang menggunakan metode  ini.

d)  Contoh kitab tafsir ijmali
Di antara kitab-kitab tafsir dengan metode ijmali, yaitu tafsir al-Jalalain karya Jalal al-Din al-Suyuthy dan Jalal al-Din al-Mahally, Tafsir al-Qur’an al-’Adhin olah Ustadz Muhammad Farid Wajdy, Shafwah al-Bayan li Ma’any  al-Qur’an  karangan Syaikh Husanain Muhammad Makhlut,  al-Tafsir  al-Muyassar karangan Syaikh Abdul al-Jalil Isa, dan lain sebagainya.

e)   Ciri-ciri Metode Ijmali
Dalam metode ijmali seorang mufasir langsung menafsirkan Al-Qur’an dari awal sampai akhir tanpa perbandingan dan penetapan judul. Pola serupa ini tidak jauh berbeda dengan metode alalitis, namun uraian di dalam Metode Analitis lebih rinci daripada di dalam metode global sehingga mufasir lebih banyak dapat mengemukakan pendapat dan ide-idenya. Sebaliknya di dalam metode global, tidak ada ruang bagi mufasir untuk mengemukakan pendapat serupa itu. Itulah sebabnya kitab-kitab Tafsir ijmali seperti disebutkan di atas tidak memberikan penafsiran secara rinci, tapi ringkas dan umum sehingga seakan-akan kita masih membaca Al-Qur’an padahal yang dibaca tersebut adalah tafsirnya. Namun pada ayat-ayat tertentu diberikan juga penafsiran yang agak luas, tapi tidak sampai pada wilayah tafsir analitis.


2)  Metode Tahliliy (Analisis)
a)  Pengertian
Yang dimaksud dengan Metode Tahliliy (Analisis) ialah menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan memaparkan segala aspek yang terkandung di dalam ayat-ayat yang ditafsirkan itu serta menerangkan makna-makna yang tercakup di dalamnya, sesuai dengan keahlian dan kecenderungan mufasir yang menafsirkan ayat-ayat tersebut. Di mulai dari uraian makna kosokata, makna kalimat, maksut stiap ungkapan, kaitan antar pemisah sampai sisi-sisi keterkaitan antar pemisah itu dengan bantuan asbab an-nuzul, riwayat-riwayat yang berasal dari Nabi Muhammad SAW, sahabat, dan tabi’in. Prosedur ini dilakukan dengan mengikuti susunan mushaf, ayat per ayat dan surat per surat. Metode ini terkadang menyertakan pula perkembangan kebudayaan generasi Nabi sampai tabi’in , terkadang pula diisi dengan uraian-uraian kebahasaan dan materi-materi khusus lainnya yang kesemuanya ditujukan untuk memahami Al-Qur’an yang mulia.
b)  Kelebihan
-  Ruang lingkup yang luas: Metode analisis mempunyai  ruang  lingkup yang  termasuk  luas. Metode  ini dapat digunakan  oleh mufassir  dalam  dua  bentuknya; ma’tsur  dan  ra’y  dapat dikembangkan dalam berbagai penafsiran sesuai dengan keahlian masing-masing mufassir.
c)  Kelemahan
-  Menjadikan petunjuk  al-Qur’an parsial atau  terpecah-pecah,tidak  utuh  dan  tidak  konsisten karena penafsiran yang diberikan pada suatu ayat berbeda dari penafsiran yang  diberikan  pada  ayat-ayat  lain  yang  sama  dengannya. Terjadinya perbedaan, karena kurang memperhatikan ayat-ayat  lain yang mirip atau sama dengannya.
-  Masuknya  pemikiran Israiliat  sebab berbagai  pemikiran  mufassir dapat masuk ke  dalamnya,  tidak  tercuali  pemikiran  Israiliat Contohnya,  kitab tahlili seperti  dalam  penafsiran  al-Qurthubi  tentang penciptaan manusia pertama, termaktub di dalam ayat 30 surah al-Baqarah disini terselib cerita israiliyyat.


d)  Contoh kitab tafsir tahlili
Di antara kitab-kitab tafsir dengan metode ijmali antara lain :Ma’alim al- Tanzil(karya al -Baghawi), Tafsir Al-Qur’an al-‘Azhim (karya Ibn Katsir), Tafsir al-Khazin (karya al-Khazin),Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil (karya al -Baidhawy)

e)  Ciri-ciri Metode Tahlili
Pola penafsiran yang diterapkan para penafsir yang menggunakan metode tahlili terlihat jelas bahwa mereka berusaha menjelaskan makna yang terkandung di dalam ayat-ayat Al-Qur’an secara komprehenshif dan menyeluruh, baik yang berbentuk al-ma’tsur, maupun al-ra’yi, sebagaimana dalam penafsiran tersebut, Al-Qur’an ditafsirkan ayat demi ayat dan surat demi surat secara berurutan, serta tak ketinggalan menerangkan asbab al-nuzul dari ayat-ayat yang ditafsirkan. Penafsiran yang mengikuti metode ini dapat mengambil bentuk  ma’tsur  (riwayat) atau ra’y (pemikiran)

3)  Metode Muqaran (Komparatif/Perbandingan)
a)  Pengertian
Pengertian metode muqaran (komparatif) dapat dirangkum sebagai berikut :
• Membandingkan teks (nash) ayat-ayat Al-Qur’an yang memiliki persamaan atau kemiripan redaksi dalam dua kasus atau lebih, dan atau memiliki redaksi yang berbeda bagi satu kasus yang sama;
• Membandingkan ayat Al-Qur’an dengan Hadits Nabi SAW, yang pada lahirnya terlihat bertentangan;
•  Membandingkan berbagai pendapat ulama’ tafsir dalam menafsirkan Al-Qur’an.
Jadi metode tafsir muqaran adalah menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an dengan merujuk pada penjelasan-penjelasan para mufassir. Langkah  yang ditempuh ketika menggunakan metode ini adalah sebagai berikut:

1. Mengumpulkan sejumlah ayat Al-Qur’an
2. Mengemukakan penjelasan para mufassir, baik kalangan salaf atau kalangan khalaf, baik tafsirnya bercorak bi al-ma’tsur atau bi ar-ra’yi
3.  Membandingkan kecenderungan tafsir mereka masing-masing.
4.  Menjelaskan siapa saja yang mengemukakan tafsirannya dalam kelompok-kelompok.
Selain rumusan di atas, metode muqaran mempunyai pengertian lain yang lebih luas, yaitu membandingkan ayat-ayat Al-Qur’an yang berbicara tentang tema tertentu, atau mmbandingkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan hadits-hadits Nabi, termasuk dengan hadits-hadits yang makna tekstualnya tampak kontradiktif dengan Al-Qur’an, atau dengan kajian-kajian lainnya.
b)   Kelebihan
-  Memberikan wawasan penafsiran yang  relatif  lebih  luas  kepada  pada  pembaca  bila  dibandingkan  dengan metode-metode lain. Di dalam penafsiran ayat al-Qur’an dapat ditinjau dari berbagai disiplin  ilmu pengetahuan sesuai dengan keahlian mufassirnya,
-  Membuka pintu untuk selalu bersikap toleransi terhadap pendapat orang lain yang kadang-kadang jauh berbeda dari pendapat kita dan tak mustahil ada yang kontradiktif. Dapat mengurangi fanatisme yang berlebihan kepada suatu mazhab atau aliran tertentu,
-  Tafsir dengan metode ini amat berguna bagi mereka yang ingin mengetahui berbagai pendapat tentang suatu ayat,
c)  Kelemahan
-  Penafsiran dengan memakai metode ini tidak dapat diberikan kepada pemula yang baru mempelajari tafsir,karena pembahasan yang dikemukakan di dalamnya terlalu luas dan kadang-kadang ekstrim,
-  Metode  ini kurang dapat diandalkan untuk menjawab permasalahan sosial yang  tumbuh di  tengah masyarakat, karena metode ini lebih mengutamakan perbandingan dari pada pemecahan masalah

d)  Contoh kitab tafsir Muqaran
Adapun kitab-kitab yang menggunakan metode Muqaran diantaranya adalah: Kitab Durrah al-Tanzil wa al-Gurrah al-Ta‘wil karya al-Iskafi, mengkaji perbandingan antara ayat dengan ayat, Jami‘ Ahkam al-Qur’an karya al-Qurtubi, kitab ini membandingkan penafsiran para mufassir.
e)  Ciri-ciri Metode Muqaran
Perbandingan adalah ciri utama bagi Metode Komparatif. Disini letak salah satu perbedaan yang prinsipil antara metode ini dengan metode-metode lain. Hal ini disebabkan karena yang dijadikan bahan dalam memperbandingkan ayat dengan ayat atau ayat dengan hadits, adalah pendapat para ulama tersebut dan bahkan dalam aspek yang ketiga. Oleh sebab itu jika suatu penafsiran dilakukan tanpa membandingkan berbagai pendapat yang dikemukakan oleh para ahli tafsir, maka pola semacam itu tidak dapat disebut “metode muqaran”.

4)  Metode Maudhu’iy (Tematik)
a)  Pengertian
Yang dimaksud dengan metode mawdhu’iy ialah membahas ayat-ayat Al-Quran sesuai dengan tema atau judul yang telah ditetapkan. Semua ayat yang berkaitan, dihimpun. Kemudian dikaji secara mendalam dan tuntas dari berbagai aspek yang terkait dengannya seperti asbab al-nuzul, kosa kata dan sebagainya. Semuanya dijelaskan secara rinci dan tuntas, serta didukung oleh dalil-dalil atau fakta yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah baik argumen itu berasal dari Al-Qur’an dan Hadits, maupun pemikiran rasional. 

b)  Kelebihan
-  Menghindari problem atau kelemahan metode lain
- Menafsirkan ayat dengan ayat atau hadits Nabi, satu cara terbaik dalam menafsirkan al-Qur’an
-  Kesimpulan yang dihasilkan mudah dipahami
- Metode ini  memungkinkan seseorang untuk  menolak anggapan adanya ayat-ayat  yang  bertentangan  dalam  al-Quran,  sekaligus  membuktikan bahwa  ayat-ayat   al-Qur’an   sejalan   dengan   perkembangan   ilmu pengetahuan dan masyarakat.

c)  Kekurangan
-  Kesullitan dalam memenggal ayat al-Qur’an: Yang dimaksud memenggal ayat al-Qur’an ialah suatu kasus yang terdapat di dalam suatu ayat atau lebih mengandung banyak permasalahan yang berbeda. Misalnya, petunjuk tentang shalat dan zakat. Biasanya kedua ibadah itu diungkapkan bersama dalam satu ayat. Apabila ingin membahas kajian tentang zakat misalnya, maka mau tidak mau ayat tentang shalat harus di tinggalkan ketika menukilkannya dari mushaf agar tidak mengganggu pada waktu melakukan analisis.
-  Membatasi pemahaman ayat: Dengan diterapkannya judul penafsiran, maka pemahaman suatu ayat menjadi terbatas pada permasalahan yang dibahas tersebut. Akibatnya mufassir terikat oleh judul itu.
d)  Contoh kitab tafsir Maudhu’i
Di antara kitab-kitab tafsir dengan metode Maudhu’i, yaitu :Al-Mar’ah fi Al-Qur’an Al-Karim (karya Abbas Al-Aqqad), Ar-Riba fi Al-Qur’an Al-Karim (karya Abu A’la Al-Maududi), Al-Aqidah fi Al-Qur’an Al-Karim (karya Muhammad Abu Zahrah), Al-Insan fi Al-Qur’an Al-Karim (karya DR. Ibrahim mahnan), Washaya surat al-isra’ (karya DR. Abd Al-Hayy Al-Farmawi).


e)  Ciri-ciri Metode Maudhu’i
Yang menjadi ciri utama metode ini ialah menonjolkan tema, judul atau topik pembahasan sehingga tidak salah bila di katakan bahwa metode ini juga disebut metode “topikal”. Jadi mufasir mencari tema-tema atau topik-topik yang ada di tengah masyarakat atau berasal dari Al-Qur’an itu sendiri, ataupun dari yang lain. Kemudian tema-tema yang sudah dipilih itu dikaji secara tuntas dan menyeluruh dari berbagai aspek, sesuai dengan kapasitas atau petunjuk yang termuat di dalam ayat-ayat yang ditafsirkan tersebut. Artinya penafsiran yang diberikan tak boleh jauh dari pemahaman ayat-ayat Al-Qur’an, agar tidak terkesan penafsiran tersebut berangkat dari pemikiran atau terkaan belaka (al-Ra’y al-Mahdh). Sementara itu Prof. Dr. Abdul Hay Al-Farmawy seorang  guru besar pada Fakultas Ushuluddin Al-Azhar, dalam bukunya Al-Bidayah fi Al-Tafsir Al-Maudhu’i mengemukakan secara rinci langkah-langkah yang hendak ditempuh untuk menerapkan metode maudhu’i. Langkah-langkah tersebut adalah :

•  Menetapkan masalah yang akan dibahas (topik).
•  Menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah tersebut.
• Menyusun runtutan ayat sesuai dengan masa turunnya, disertai pengetahuan tentang asbab al-nuzulnya.
•  Memahami korelasi ayat-ayat tersebut dalam surahnya masing-masing.
•  Menyusun pembahasan dalam kerangka yang sempurna (out-line).
•  Melengkapi pembahasan dengan hadits-hadits yang relevan dengan pokok bahasan.
• Mempelajari ayat-ayat tersebut secara keseluruhan dengan jalan menghimpun ayat-ayatnya yang mempunyai pengertian yang sama, atau mengkompromikan antara yang ‘am (umum) dan yang  khas (khusus), mutlak dan muqayyad (terikat), atau yang pada lahirnya bertentangan, sehingga kesemuanya bertemu dalam satu muara, tanpa perdebatan atau pemaksaan. 

2.4 Corak-Corak Tafsir


A. Pengertian Corak Tafsir
Dalam kamus bahasa Indonesia kata corak mempunyai beberapa makna. Di antaranya Corak berarti bunga atau gambar (ada yang berwarna -warna ) pada kain( tenunan, anyaman dsb), Juga bermakna berjenis jenis warna pada warna dasar, juga berarti sifat( faham, macam, bentuk) tertentu. Kata corak dalam literatur sejarah tafsir, biasanya digunakan sebagai terjemahan dari kata al-laun, bahasa Arab yang berarti warna. Istilah ini pula di gunakan Azzahaby dalam kitabnya At-Tafsir Wa-al-Mufassirun. Berikut ulasan beliau :
Tafsir adalah Ilmu untuk memahami kitabullah yang di turunkan kepada nabi Muhammad SAW untuk menjelaskan makna-maknanya, menyimpulkan hukum –hukumnya dan hikmah-hikmahnya.
Jadi, corak tafsir adalah nuansa atau sifat khusus yang mewarnai sebuah penafsiran dan merupakan salah satu bentuk ekspresi intelektual seseorang mufassir, ketika ia menjelaskan maksud-maksud ayat al-Qur’an. Artinya bahwa kecenderungan pemikiran atau ide tertentu mendominasi sebuah karya tafsir .


B. Macam-macam Corak Tafsir


1.    CORAK LUGHAWI
        Tafsir lughawi adalah tafsir yang mencoba menjelaskan makna-makna al-Qur’an dengan menggunakan kaidah-kaidah kebahasaan. Seseorang yang ingin menafsirkan al-Qur’an dengan pendekatan bahasa harus mengetahui bahasa yang digunakan al-Qur’an yaitu bahasa arab dengan segala seluk-beluknya, baik yang terkait dengan nahwu, balaghah dan sastranya. Ahmad Syurbasyi menempatkan ilmu bahasa dan yang terkait (nahwu, sharaf, etimologi, balaghah dan qira’at) sebagai syarat utama bagi seorang mufassir. Di sinilah, urgensi bahasa akan sangat tampak dalam penafsirkan al-Qur’an.


2.    CORAK ‘ILMI
Tafsri ‘Ilmi adalah menafsirkan ayat-ayat al qur’an berdasarkan pendekatan Ilmiyah atau menggali kandungan al qur’an berdasarkan teori-teori ilmu pengetahuan. Alasan yang melahirkan penafsiran ilmiah adalah karena seruan al-Quran pada dasarnya adalah sebuah seruan ilmiah. Yaitu seruan yang didasarkan pada kebebasan akal dari keragu-raguan dan prasangka buruk, bahkan al-Quran mengajak untuk merenungkan fenomena alam semesta, atau seperti juga banyak kita jumpai ayat-ayat al-Quran ditutup dengan ungkapan-ungkapan, “Telah kami terangkan ayat-ayat ini bagi mereka yang miliki ilmu”, atau dengan ungkapan, “bagi kaum yang memiliki pemahaman”, atau dengan ungkapan, “bagi kaum yang berfikir.”.


3.    CORAK TASIR FIQH
Corak Tafsir Fiqhi adalah corak tafsir yang menitikberatkan kepada pembahasan masalah-masalah fiqhiyyah dan cabang-cabangnya serta membahas perdebatan atau perbedaan pendapat seputar pendapat-pendapat imam madzhab. Tafsir fiqhi ini juga dikenal dengan tafsir ahkam, yaitu tafsir yang lebih berorientasi kepada ayat-ayat hukum dalam al-Qur’an (ayat-ayat ahkam). Tafsir fiqhi lebih populer dengan sebutan tafsir ahkam karena lebih berorientasi pada ayat-ayat hukum dalam Al Qur’an. Orang yang pertama berhak menyandang predikat mufassir adalah Rasulullah SAW, kemudian para shahabat.


4.    CORAK FALSAFI
Tafsîr al-Falâsifah, yakni menafsirkan ayat-ayat al-Qur`an berdasarkan pemikiran atau pandangan falsafi, seperti tafsir bi al-ra`y. Dalam hal ini ayat lebih berfungsi sebagai justifikasi pemikiran yang ditulis, bukan pemikiran yang menjustifikasi ayat.Seperti tafsir yang dilakukan al-Farabi, ibn Sina, dan ikhwan al-Shafa. Menurut Dhahabi, tafsir mereka ini di tolak dan di anggap merusak agama dari dalam.
  Corak penafsiran ini akan sangat bermanfaat nantinya untuk membuka khazanah keislaman kita, sehingga kita nantinya akan mampu mengetahui maksud dari ayat tersebut dari berbagai aspek, terutama aspek filsafat. Metode berfikir yang digunakan filsafat yang bebas, radikal dan berada dalam dataran makna tentunya akan memperoleh hasil penafsiran yang lebih valid walaupun keberannya masih tetap relatif.


5.    CORAK SHUFI
Tafsîr al-Shufiyah, yakni tafsir yang didasarkan atas olah sufistik, dan ini terbagi dalam dua bagian; tafsîr shûfi nadzary dan tafsîr shûfi isyary. Tafsir sufi nadzary adalah tafsir yang didasarkan atas perenungan pikiran sang sufi (penulis) seperti renungan filsafat dan ini tertolak. Tafsir sufi isyary adalah tafsir yang didasarkan atas pengalaman pribadi (kasyaf) si penulis seperti tafsîr al-Qur`an al-`Adzîm karya al-Tustari, Haqâiq al-Tafsîr karya al-Sulami dan `Arâis al-Bayân fî Haqâiq al-Qur`an karya al-Syairazi. Tafsir sufi isyari ini bisa diterima (diakui) dengan beberapa syarat, (1) ada dalil syar`i yang menguatkan, (2) tidak bertentangan dengan syari’at/rasio, (3) tidak menafikan makna zahir teks. Jika tidak memenuhi syarat ini, maka ditolak. Corak penafsiran Sufi ini didasarkan pada argumen bahwa setiap ayat al-Qur’an secara potensial mengandung 4 tingkatan makna:Zhahir, Batin, Hadd, dan matla’.


6.    CORAK ADABI DAN IJTIMA’I
Tafsir adabi Ijtima’i sebagaimana disebutkan oleh al Farmawi adalah Corak tafsir yang menitikberatkan penjelasan ayat-ayat al Qur’an pada Aspek ketelitian redaksinya lalu menyusun kandungannya dalam redaksi yang indah dengan penonjolan aspek-aspek petunjuk al Qur’an bagi kehidupan, serta menghubungkan pengertian ayat tersebut dengan hukum alam yang berlaku dalam masyarakat dan pembangunan dunia.


7.    CORAK BALAGHI DAN BAYANI
Corak Balaghi, yaitu jika seorang Mufassir menafsirkan Al Qur’an didasarkan pada segi Balaghohnya (Keindahan Perkataan dan Uslub Al Qur’an). Adapun contoh corak tafsir Balaghi tedapat pada tafsir Al Kasysyaf karya Al Zamakhsyari.
Sedangkan, Corak Bayani, yaitu tafsir pembahasannya berkisar padaBalaghotu al Qur’an dalam bentuk Ilmu bayan seperti Tasybih Isti’aroh, Tamsil, Washal, Fashal, dan cabang-cabangnya seperti penggunaan Makna Denotasi (Haqiqi) dan Majazi (Metafor) dan semacamnya.


Tafsir Balaghah meliputi tiga aspek yaitu:
1.  Tafsir Ma’an al-Qur’an yaitu tafsir yang khusus mengkaji makna-makna kosa kata al-Qur’an atau terkdang disebut ensiklopedi praktis seperti kitab Ma’an al-Qur’an karya Abd Rahim Fu’dah.
2.   Tafsir Bayan al-Qur’an yaitu tafsir yang mengedapankan penjelasan lafal dari akarkata kemudian dikaitkan antara satu makna dengan makna yang lain seperti kitab Tafsir al-Bayani al-Qur’an karya Aisyah Abd Rahman bint al-Syathi’.
3.   Tafsir badi’ al-Qur’an yaitu tafsir yang cenderung mengkaji al-Qur’an dari aspek keindahan susunan dan gaya bahasanya, seperti Badi’ al-Qur’an karya Ibn Abi al-Ishba’ al-Mishry (w. 654 H).


8.      CORAK HARAKI
Corak Haraki, yaitu tafsir yang ditulis dan disusun oleh seorang tokoh pergerakan umat Islam. Dalam hal ini seorang mufassir berusaha menjelaskan Maksud Allah dalam al Qur’an, khususnya yang terkait dengan perubahan dan pergerakan sosial kearah yang lebih baik. Tafsir Haraki ini tidak hanya bertujuan menafsirkan al Qur’an, tetapi juga mengajak umat untuk memperbaiki keadaan sosial yang buruk ke arah keadaan sosial yang lebih baik.dalam hal ini, mufassir juga mengedapankan perhatiannya untuk mengajak masyarakat agar kembali kepada ajaran agama yang benar, mensucikan agama dari segala bentuk Khurafat dan Isroilliyat. Contoh tafsir Haraki adalah Tafsir Fi Zhilalil al Qur’an karya Sayyid Quthub.


2.5 Contoh Kitab-kitab Tafsir Falsafi

1.  Mafatih al-Ghaib yang dikarang al-fakhr al-Razi
2.  Tafsir Al-Qur’an al-Adhim, karangan Imam Al-Tustury.
3.  Haqaiq al-Tafsir, karangan al-Allamah Al-Sulamy.
4.  ‘Arais al-Bayan fy Haqaiq al-Qur’an, karangan Imam Al-Syiraz



BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Tafsir Fasafi adalah penafsiran berdasarkan teori-teori filsafat.  Adapun factor kemunculannya (secara konkrit) adalah adanya penerjemahan buku-buku filsafat Yunani ke dalam bahasa arab pada masa masa Dinasti Abbbasiah.
 Metodoogi yang digunakan dalam tafsir falsafi cenderung lebih mengedapankan pemikiran dengan mencari hakiki dan menyampigkan aspek historitas dan konteksnya. Hal ini menjadi kekurangan sekaligus kelebihan dari Tafsir Falsafi ini.
1. Metode tafsir al-Quran adalah suatu cara yang teratur dan terpikir baik-baik untuk mencapai pemahaman yang benar tentang apa yang dimaksudkan Allah di dalam ayat-ayat al-Quran.
2.  Metode-metode penafsiran dibagi dalam  empat cara (metode), yaitu :
a.  Metode Ijmali (Global) adalah  suatu metoda tafsir yang menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan cara mengemukakan makna global. 
b. Metode Tahlil (analisis) adalah menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan memaparkan segala aspek yang terkandung di dalam ayat-ayat yang ditafsirkan itu serta menerangkan makna-makna yang tercakup di dalamnya, sesuai dengan keahlian dan kecenderungan mufasir yang menafsirkan ayat-ayat tersebut.
c. Metode Muqaran (Komparatif/Perbandingan) adalah menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an dengan merujuk pada penjelasan-penjelasan para mufassir.
d.  Metode Maudhu’iy (Tematik) adalah membahas ayat-ayat Al-Quran sesuai dengan tema atau judul yang telah ditetapkan.




3.      Klasifikasi dan corak tafsir antara lain:
a. Tafsir bi Al-Ma’tsur
b.  Tafsir bi Al-Ra’yi
c.  Tafsir Ash-Shufi
d.  Tafsir Al-Fiqhi
e.  Tafsir Al-Falsafi
f.  Tafsir Al-Ilimi
g.  Tafsir Al-Adabi Al-Ijtima





DAFTAR PUSTAKA
1. Abdul Hayy Al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhu’i Dan Cara Perepannya, Penerjemah, Suryan A. Jamrah, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1994
2. Muhammad Husein al-Dzhabi, At-Tafsir wa Al-Mufassirun, (Bairut: Dar al-Fikri, 1995)
3. Muhammad Ghazali Syeikh. Tafsir Tematik Dalam Al-Qur’an. Gaya Media Pratama. Jakarta. 2005
4. Ushma Thameem. Metodologi Tafsir AL-QUR’AN. Riora Cipta. Jakarta. 2000
5. Al-Majlis al-A’la li al-Syuuni al-Islamiyah, al-Mausuah al-Qur’aniyah al-Mutakhossisah, (Kairo: Wazir al-Auqaf, 2003),

Wednesday, March 9, 2016

Pengertian Tuhan Menurut Hadits Falsafi dan Menurut Para Ulama

   
Pengertian Tuhan, Kata Tuhan merujuk pada suatu dzat abadi dan supranatural, biasanya dikatakan mengawasi atau memerintah manusia dan alam semesta atau jagat raya. Hal ini bisa juga digunakan untuk merujuk kepada konsep-konsep yang mirip dengan ini misalkan sebuah energi atau kesadaran yang merasuki seluruh alam semesta, dimana keberadaan-Nya membuat alam semesta ada, sumber segala yang ada kebajikan terbaik dan tertinggi dalam semua makhluk hidup atau apapun yang tak bisa dimengerti atauy dijelaskan..


     Tuhan adalah dzat yang ada, bukan diadakan/ diciptakan, tidak dilahirkan dan tidak melahirkan. Dia hidup dia tidak dihidupkan dan dia tidak mati. Dia berkuasa, tidak butuh kepada mkhluknya. Dia mengatur dan menentukan, bukan diatur dan bukan ditentukan. Maka yang bisa dikatakan TUHAN haruslah memenuhi unsur-unsur diatas.

Esensi Tuhan Menurut Para Ulama

     1. Menurut Al-Farabi
     Dalam pembahasan tentang ketuhanan mengompromika antara filsafat aristoteles dan neo-platonisme, yakni al-maujud al-awwal (wujud pertama) sebagai sebab pertama bagi segala yang ada. Konsep ini tidak bertentangan dengan keesaan yang mutlak dalam ajaran islam.

     Dalam membuktikan adanya Allah al farabi mengemukakan dalil wajib al-wujud dan mumkin al-wujud. Menurutnya segala yang ada ini hanya ada dua kemungkinan dan tidak ada alternatif  yang ketiga, yakni wajib al-wajub dan mumkin al-wujud.

     Adapun yang dimaksud wajib al-wujud adalah wujudnya tidak boleh tidak mesti ada, ada dengan sendirinya, karena natur-Nya sendiri yang menghendaki wujudnya. Esensinya tidak dapat dipisahkan dari wujudnya, keduanya adalah sama dan satu. Ia adalah wujud yang sempurna dan adanya tanpa sebab dan wujudnya terjadi karena lainnya. Ia adalah selamanya dan tidak didahului oleh tiada. Jika wujud ini tidak ada, maka akan timbul kemustahilan karena wujud lain untuk adanya bergantung kepadaNya. Wajib al-wujud inilah yang disebut dengan Allah.

     Sementara yang disebut dengan mumkin al-wujud adalah sesuatu yang sama antara berwujud dan tidaknya. Wujud ini jika diperkirakan tidak wujud, tidak mengakibatkan kemustahilan. Mumkin al-wujud tidak akan berubah menjadi wujud aktual tanpa adanya wujud yang menguatkan dan yang menguatkan itu bukan dirinya, tetapi adanya wajib al-wujud (ALLAH)


     2. Menurut Ibdu Miskawaih
     Tuhan adalah zat yang tidak berjisim, Azali, dan pencipta. Tuhan Esa dalam segala aspek. Ia tidak terbagi-bagi dan tidak mengandung kejamakan dan tidak satu pun yang setara dengan-Nya. IA ada tanpa diadakan dan ada-Nya tidak bergantung kepada yang lain, sementara yang lain membutuhkan-Nya. Tampaknya pemikiran ibnu miskawih dengan ini sam dengan pemikiran al-farabi dan al-kindi. Menurut De Boer, Ibnu Maskawih menyatakan, Tuhan adalah zat yang jelas dan tidak jelas. Dikatakan zat yang jelas bahwa Ia adalah yang Hak (benar). Yang adalah terang. Dikatakan tidak jelas karena akal pikiran kita untuk menangkap-Nya, disebabkan banyak dinding-dinding atau kendala kebendaan yang menutupi-Nya. Pendapat ini bisa diterima karena wujud manusia berbeda dengan wujud Tuhan. Segala sesuatu didalam ini ada gerakan. Gerakan tersebut merupakan sifat (natur) bagi alam yang menimbulkan perubahanpada sesuatu pada bentuk semula. Ini sebagai tanda adnya pencipta alam. Pendapat ini didasarkan dengan pemikiran Aristoteles bahwa segala sesuatu selalu dalam perubahan yang mengubahnya dari bentuk semula.

*Selamat Belajar, Rajin Adalah Kunci Sukses Kita Untuk Masa Depan*

Tuesday, March 8, 2016

Pengertian Tafsir Falsafi beserta metodologi penafsiran AL-Qur'an

                                                    Pengertian Tafsir Falsafi
Tafsir falsafi menurut Quraisy Shihab adalah upaya penafsiran Al Qur’an dikaitkan dengan persoalan-persoalan filsafat. Tafsir falsafi, yaitu tafsir yang didominasi oleh teori-teori filsafat sebagai paradigmanya. Ada juga yang mendefisnisikan tafsir falsafi sebagai penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an dengan menggunakan teori-teori filsafat. Hal ini berarti bahwa ayat-ayat Al Qur’an dapat ditafsirkan dengan menggunakan filsafat. Karena ayat Al Qur’an bisa berkaitan dengan persoalan-persoalan filsafat atau ditafsiri dengan menggunakan teori-teori filsafat.
Tafsîr al-Falâsifah, yakni menafsirkan ayat-ayat al-Qur`an berdasarkan pemikiran atau pandangan falsafi, seperti tafsir bi al-ra`y. Dalam hal ini ayat lebih berfungsi sebagai justifikasi pemikiran yang ditulis, bukan pemikiran yang menjustifikasi ayat. seperti tafsir yang dilakukan al-Farabi, ibn Sina, dan ikhwan al-Shafa. Menurut Dhahabi, tafsir mereka ini di tolak dan di anggap merusak agama dari dalam.
Al Qur’an adalah sumber ajaran dan pedoman hidup umat Islam yang pertama, kitab suci ini menempati posisi sentral dalam segala hal yaitu dalam pengembangan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan keislaman. Pemahaman ayat-ayat Al Qur’an melalui penafsiran mempunyai peranan yang sangat besar bagi maju mundurnya peradaban umat Islam. Di dalam menafsirkan Al Qur’an terdapat beberapa metode yang dipergunakan sehingga membawa hasil yang berbeda-beda pula, sesuai dengan sudut pandang dan latar belakang penafsir masing-masing. Sehingga timbullah berbagai corak penafsiran seperti tafsir shufi, ilmi, adabi, fiqhi dan falsafi dan lain-lain yang tentunya juga akan menimbulkan pembahasan yang luas serta pro-kontra dari zaman ke zaman.
Penafsiran terhadap Al Qur’an telah tumbuh dan berkembang sejak masa awal Islam. Sejalan dengan kebutuhan umat Islam untuk mengetahui seluruh segi kandungan Al Qur’an serta intensitas perhatian para ulama terhadap tafsir, maka tafsir Al Qur’an pun terus berkembang, baik pada masa ulama salaf maupun khalaf bahkan hingga sekarang. Pada tahapan-tahapan perkembangannya tersebut, muncullah karakteristik yang berbeda-beda baik dalam metode maupun corak penafsirannya.
Sejarah telah mencatat perkembangan tafsir yang begitu pesat, seiring dengan kebutuhan, dan kemampuan manusia dalam menginterpretasikan ayat-ayat Tuhan. Setiap karya tafsir yang lahir pasti memiliki sisi positif dan negatif, demikian juga tafsir falsafi yang cenderung membangun proposisi universal hanya berdasarkan logika dan karena peran logika begitu mendominasi, maka metode ini kurang memperhatikan aspek historisitas kitab suci. Namun begitu, tetap ada sisi positifnya yaitu kemampuannyamembangun abstraksi dan proposisi makna-makna latent (tersembunyi) yang diangkat dari teks kitab suci untuk dikomunikasikan lebih luas lagi kepada masyarakat dunia tanpa hambatan budaya dan bahasa.
Dari pemahaman tersebut tidak tidak terlalu berlebihan kiranya kalau kita mengharapkan nantinya terwujudnya tafsir falsafi ideal, sebuah konsep tafir falsafi yang kontemporer yang tidak hanya berlandaskan interpretasi pada kekuatan logika tetapi juga memberikan perhatian pada realitas sejarah yang mengiringinya. Sebab pada prinsipnya teks Al Qur’an tidak lepas dari struktur historis dan konteks sosiokultural di mana ia diturunkan. Dengan demikian, akan lahir tarfir-tafsir filosofis yang logis dan proporsional, tidak spekulatif dan diberlebih-lebihan. Dan mungkin harapan tersebut tidak terlalu berlebihan karena disamping memang kita belum menemukan tafsir yang secara utuh menggunakan pendekatan filosofis, kalaupun ada itu hanya pemahaman beberapa ayat yang bisa kita temukan dalam buku-buku mereka.
Corak penafsiran ini akan sangat bermanfaat nantinya untuk membuka khazanah keislaman kita, sehingga kita nantinya akan mampu mengetahui maksud dari ayat tersebut dari berbagai aspek, terutama aspek filsafat. Metode berfikir yang digunakan filsafat yang bebas, radikal dan berada dalam dataran makna tentunya akan memperoleh hasil penafsiran yang lebih valid walaupun keberannya masih tetap relatif.
Namun kombinasi hasil penafsiran tersebut dengan aspek sosio-historis tentunya akan semakin menyempurnakan eksistensinya. Sehingga produk tafsir ini jelas akan lebih memikat dan kredibel dari pada tafsir lain.

Metode Penafsiran Al-Qur’an 

Metode tafsir Al-Qur’an terbagi menjadi tiga macam  yaitu :

1. Tafsir bi al-Ma’tsur 
adalah tafsir yang didasarkan pada periwayatan yaitu tafsir yang merujuk pada penafsiran AL-Qur’an dengan AL-Qur’an, atau penafsiran AL-Qur’an dengan al-Hadits melalui penuturan sahabat. Metode ini, merupakan dua tafsir tertinggi yang tidak dapat dibandingkan dengan sumber lain, karena menyaksikan disaat turunnya wahyu. Penafsiran merekalah yang layak untuk dijadikan sumber. Disamping itu mereka adalah orang yang dididik oleh Rasulullah SAW, dalam berbagai aspek.

2. Tafsir bi al-Ra’yi 
adalah tafsir yang didasarkan kepada nalar atau pengetahuan atau tafsir bi al-dirayah dan juga sering di sebut sebagai tafsir bi al ma’qul bagi para mufassir yang mengandalkan ijtihad mereka dan tidak didasarkan pada riwayat sahabat dan tabi’in. Sandaran meraka adalah bahasa, budaya arab yang terkandung didalamnya, pengetahuan entang gaya bahasa sehari-hari dan kesadaran akan pentingnya sains yang amat diperlukan oleh merka yang ingin menafsirkan AL-Qur’an.

3. Tafsir bi al-Isyari 
adalah tafsir yang berdasarkan atas isyarat (indikasi) ialah penafsiran ayat AL-Qur’an yang mengabaikan makna dhahirnya. Disebut juga bahwa penfsiran AL-Qur’an ini berdasarkan indikasi (isyrat) yang dapat diterima oleh sebagian orang yang sadar dan berpengetahuan atau tampak bagi orang yang memilika akhlak terpuji dan melawan hawa nafsu mereka.

Metode Study atas hasil karya penafsiran para ulama sekarang ini, secara umum menunjukkan bahwa mereka menggunakan metode-metode penafsiran dalam empat cara (metode), yaitu :
1.  Ijmaly (global)
2.  Tahlily (analistis),
3.  Muqaran (perbandingan),
4.  Maudhu’i (tematik).


1)  Metode Ijmali (Global)

a)  Pengertian
Yang dimaksud dengan metode al-Tafsir al-Ijmali (global) ialah suatu metoda tafsir yang menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan cara mengemukakan makna global. Pengertian tersebut menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an secara ringkas tapi mencakup dengan bahasa yang populer, mudah dimengerti dan enak dibaca. Sistematika penulisannya menurut susunan ayat-ayat di dalam muskhaf. Di samping itu penyajiannya tidak terlalu jauh dari gaya bahasa Al-Qur’an sehingga pendengar dan pembacanya seakan-akan masih tetap mendengar Al-Qur’an padahal yang didengarnya itu tafsirnya. Ketika menggunakan metode ini, para mufassir menjelaskan Al-Qur’an dengan bantuan sebab turun ayat (asbab an-nuzul), peristiwa sejarah, hadis nabi, atau pendapat ulama saleh.

b)  Kelebihan
-  Praktis dan mudah dipahami  oleh  ummat  dari berbagai  strata  sosial  dan  lapisan masyakat.
-  Bebas  dari  penafsiran  kemungkinan israiliah maka  tafsir ijmali  relatif murni  dan  terbebas  dari  pemikiran-pemikiran  Israiliat  dapat dibendung pemikiran-pemikiran yang kadang-kadang terlalu jauh dari pemahaman ayat-ayat al-Qur’an seperti pemikiran-pemikiran spekulatif .
-   Akrab dengan bahasa al-Qur’an: karena tafsir ini dengan metode global menggunakan bahasa yang singkat dan akrab dengan bahasa arab tersebut.

c)  Kelemahan
-  Menjadikan  petunjuk al-Qur’an bersifat parsial: padahal al-Qur’an merupakan satu-kesatuan yang utuh, sehingga satu ayat dengan ayat yang lain membentuk satu pengertian yang  utuh, tidak terpecah-pecah dan berarti, hal-hal yang global atau samar-samar di dalam suatu ayat, maka pada ayat yang lain ada penjelasan yang lebih rinci. Dengan menggabungkan kedua ayat tersebut akan diperoleh suatu pemahaman yang utuh dan dapat terhindar dari kekeliruan.
-  Tidak ada ruangan untuk mengemukakan analisis yang memadai: Tafsir yang memakai metode  ijmali  tidak menyediakan  ruangan untuk memberikan uraian yang luas, jika menginginkan  adanya  analisis  yang  rinci, metode global tak dapat diandalkan. Ini disebut suatu kelemahan yang disadari oleh mufassir yang menggunakan metode  ini.

d)  Contoh kitab tafsir ijmali
Di antara kitab-kitab tafsir dengan metode ijmali, yaitu tafsir al-Jalalain karya Jalal al-Din al-Suyuthy dan Jalal al-Din al-Mahally, Tafsir al-Qur’an al-’Adhin olah Ustadz Muhammad Farid Wajdy, Shafwah al-Bayan li Ma’any  al-Qur’an  karangan Syaikh Husanain Muhammad Makhlut,  al-Tafsir  al-Muyassar karangan Syaikh Abdul al-Jalil Isa, dan lain sebagainya.

e)   Ciri-ciri Metode Ijmali
Dalam metode ijmali seorang mufasir langsung menafsirkan Al-Qur’an dari awal sampai akhir tanpa perbandingan dan penetapan judul. Pola serupa ini tidak jauh berbeda dengan metode alalitis, namun uraian di dalam Metode Analitis lebih rinci daripada di dalam metode global sehingga mufasir lebih banyak dapat mengemukakan pendapat dan ide-idenya. Sebaliknya di dalam metode global, tidak ada ruang bagi mufasir untuk mengemukakan pendapat serupa itu. Itulah sebabnya kitab-kitab Tafsir ijmali seperti disebutkan di atas tidak memberikan penafsiran secara rinci, tapi ringkas dan umum sehingga seakan-akan kita masih membaca Al-Qur’an padahal yang dibaca tersebut adalah tafsirnya. Namun pada ayat-ayat tertentu diberikan juga penafsiran yang agak luas, tapi tidak sampai pada wilayah tafsir analitis.

2)  Metode Tahliliy (Analisis)

a)  Pengertian
Yang dimaksud dengan Metode Tahliliy (Analisis) ialah menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan memaparkan segala aspek yang terkandung di dalam ayat-ayat yang ditafsirkan itu serta menerangkan makna-makna yang tercakup di dalamnya, sesuai dengan keahlian dan kecenderungan mufasir yang menafsirkan ayat-ayat tersebut. Di mulai dari uraian makna kosokata, makna kalimat, maksut stiap ungkapan, kaitan antar pemisah sampai sisi-sisi keterkaitan antar pemisah itu dengan bantuan asbab an-nuzul, riwayat-riwayat yang berasal dari Nabi Muhammad SAW, sahabat, dan tabi’in. Prosedur ini dilakukan dengan mengikuti susunan mushaf, ayat per ayat dan surat per surat. Metode ini terkadang menyertakan pula perkembangan kebudayaan generasi Nabi sampai tabi’in , terkadang pula diisi dengan uraian-uraian kebahasaan dan materi-materi khusus lainnya yang kesemuanya ditujukan untuk memahami Al-Qur’an yang mulia.

b)  Kelebihan
-  Ruang lingkup yang luas: Metode analisis mempunyai  ruang  lingkup yang  termasuk  luas. Metode  ini dapat digunakan  oleh mufassir  dalam  dua  bentuknya; ma’tsur  dan  ra’y  dapat dikembangkan dalam berbagai penafsiran sesuai dengan keahlian masing-masing mufassir.

c)  Kelemahan
-  Menjadikan petunjuk  al-Qur’an parsial atau  terpecah-pecah,tidak  utuh  dan  tidak  konsisten karena penafsiran yang diberikan pada suatu ayat berbeda dari penafsiran yang  diberikan  pada  ayat-ayat  lain  yang  sama  dengannya. Terjadinya perbedaan, karena kurang memperhatikan ayat-ayat  lain yang mirip atau sama dengannya.
-  Masuknya  pemikiran Israiliat  sebab berbagai  pemikiran  mufassir dapat masuk ke  dalamnya,  tidak  tercuali  pemikiran  Israiliat Contohnya,  kitab tahlili seperti  dalam  penafsiran  al-Qurthubi  tentang penciptaan manusia pertama, termaktub di dalam ayat 30 surah al-Baqarah disini terselib cerita israiliyyat.

d)  Contoh kitab tafsir tahlili
Di antara kitab-kitab tafsir dengan metode ijmali antara lain :Ma’alim al- Tanzil(karya al -Baghawi), Tafsir Al-Qur’an al-‘Azhim (karya Ibn Katsir), Tafsir al-Khazin (karya al-Khazin),Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil (karya al -Baidhawy)

e)  Ciri-ciri Metode Tahlili
Pola penafsiran yang diterapkan para penafsir yang menggunakan metode tahlili terlihat jelas bahwa mereka berusaha menjelaskan makna yang terkandung di dalam ayat-ayat Al-Qur’an secara komprehenshif dan menyeluruh, baik yang berbentuk al-ma’tsur, maupun al-ra’yi, sebagaimana dalam penafsiran tersebut, Al-Qur’an ditafsirkan ayat demi ayat dan surat demi surat secara berurutan, serta tak ketinggalan menerangkan asbab al-nuzul dari ayat-ayat yang ditafsirkan. Penafsiran yang mengikuti metode ini dapat mengambil bentuk  ma’tsur  (riwayat) atau ra’y (pemikiran)

3)  Metode Muqaran (Komparatif/Perbandingan)

a)  Pengertian
Pengertian metode muqaran (komparatif) dapat dirangkum sebagai berikut :
• Membandingkan teks (nash) ayat-ayat Al-Qur’an yang memiliki persamaan atau kemiripan redaksi dalam dua kasus atau lebih, dan atau memiliki redaksi yang berbeda bagi satu kasus yang sama;
• Membandingkan ayat Al-Qur’an dengan Hadits Nabi SAW, yang pada lahirnya terlihat bertentangan;
•  Membandingkan berbagai pendapat ulama’ tafsir dalam menafsirkan Al-Qur’an.
Jadi metode tafsir muqaran adalah menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an dengan merujuk pada penjelasan-penjelasan para mufassir. Langkah  yang ditempuh ketika menggunakan metode ini adalah sebagai berikut:
1. Mengumpulkan sejumlah ayat Al-Qur’an
2. Mengemukakan penjelasan para mufassir, baik kalangan salaf atau kalangan khalaf, baik tafsirnya bercorak bi al-ma’tsur atau bi ar-ra’yi
3.  Membandingkan kecenderungan tafsir mereka masing-masing.
4.  Menjelaskan siapa saja yang mengemukakan tafsirannya dalam kelompok-kelompok.
Selain rumusan di atas, metode muqaran mempunyai pengertian lain yang lebih luas, yaitu membandingkan ayat-ayat Al-Qur’an yang berbicara tentang tema tertentu, atau mmbandingkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan hadits-hadits Nabi, termasuk dengan hadits-hadits yang makna tekstualnya tampak kontradiktif dengan Al-Qur’an, atau dengan kajian-kajian lainnya.

b)   Kelebihan
-  Memberikan wawasan penafsiran yang  relatif  lebih  luas  kepada  pada  pembaca  bila  dibandingkan  dengan metode-metode lain. Di dalam penafsiran ayat al-Qur’an dapat ditinjau dari berbagai disiplin  ilmu pengetahuan sesuai dengan keahlian mufassirnya,
-  Membuka pintu untuk selalu bersikap toleransi terhadap pendapat orang lain yang kadang-kadang jauh berbeda dari pendapat kita dan tak mustahil ada yang kontradiktif. Dapat mengurangi fanatisme yang berlebihan kepada suatu mazhab atau aliran tertentu,
-  Tafsir dengan metode ini amat berguna bagi mereka yang ingin mengetahui berbagai pendapat tentang suatu ayat,

c)  Kelemahan
-  Penafsiran dengan memakai metode ini tidak dapat diberikan kepada pemula yang baru mempelajari tafsir,karena pembahasan yang dikemukakan di dalamnya terlalu luas dan kadang-kadang ekstrim,
-  Metode  ini kurang dapat diandalkan untuk menjawab permasalahan sosial yang  tumbuh di  tengah masyarakat, karena metode ini lebih mengutamakan perbandingan dari pada pemecahan masalah

d)  Contoh kitab tafsir Muqaran
Adapun kitab-kitab yang menggunakan metode Muqaran diantaranya adalah: Kitab Durrah al-Tanzil wa al-Gurrah al-Ta‘wil karya al-Iskafi, mengkaji perbandingan antara ayat dengan ayat, Jami‘ Ahkam al-Qur’an karya al-Qurtubi, kitab ini membandingkan penafsiran para mufassir.

e)  Ciri-ciri Metode Muqaran
Perbandingan adalah ciri utama bagi Metode Komparatif. Disini letak salah satu perbedaan yang prinsipil antara metode ini dengan metode-metode lain. Hal ini disebabkan karena yang dijadikan bahan dalam memperbandingkan ayat dengan ayat atau ayat dengan hadits, adalah pendapat para ulama tersebut dan bahkan dalam aspek yang ketiga. Oleh sebab itu jika suatu penafsiran dilakukan tanpa membandingkan berbagai pendapat yang dikemukakan oleh para ahli tafsir, maka pola semacam itu tidak dapat disebut “metode muqaran”.




4)  Metode Maudhu’iy (Tematik)

a)  Pengertian
Yang dimaksud dengan metode mawdhu’iy ialah membahas ayat-ayat Al-Quran sesuai dengan tema atau judul yang telah ditetapkan. Semua ayat yang berkaitan, dihimpun. Kemudian dikaji secara mendalam dan tuntas dari berbagai aspek yang terkait dengannya seperti asbab al-nuzul, kosa kata dan sebagainya. Semuanya dijelaskan secara rinci dan tuntas, serta didukung oleh dalil-dalil atau fakta yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah baik argumen itu berasal dari Al-Qur’an dan Hadits, maupun pemikiran rasional.

b)  Kelebihan
-  Menghindari problem atau kelemahan metode lain
- Menafsirkan ayat dengan ayat atau hadits Nabi, satu cara terbaik dalam menafsirkan al-Qur’an
-  Kesimpulan yang dihasilkan mudah dipahami
- Metode ini  memungkinkan seseorang untuk  menolak anggapan adanya ayat-ayat  yang  bertentangan  dalam  al-Quran,  sekaligus  membuktikan bahwa  ayat-ayat   al-Qur’an   sejalan   dengan   perkembangan   ilmu pengetahuan dan masyarakat.

c)  Kekurangan
-  Kesullitan dalam memenggal ayat al-Qur’an: Yang dimaksud memenggal ayat al-Qur’an ialah suatu kasus yang terdapat di dalam suatu ayat atau lebih mengandung banyak permasalahan yang berbeda. Misalnya, petunjuk tentang shalat dan zakat. Biasanya kedua ibadah itu diungkapkan bersama dalam satu ayat. Apabila ingin membahas kajian tentang zakat misalnya, maka mau tidak mau ayat tentang shalat harus di tinggalkan ketika menukilkannya dari mushaf agar tidak mengganggu pada waktu melakukan analisis.
-  Membatasi pemahaman ayat: Dengan diterapkannya judul penafsiran, maka pemahaman suatu ayat menjadi terbatas pada permasalahan yang dibahas tersebut. Akibatnya mufassir terikat oleh judul itu.

d)  Contoh kitab tafsir Maudhu’i
Di antara kitab-kitab tafsir dengan metode Maudhu’i, yaitu :Al-Mar’ah fi Al-Qur’an Al-Karim (karya Abbas Al-Aqqad), Ar-Riba fi Al-Qur’an Al-Karim (karya Abu A’la Al-Maududi), Al-Aqidah fi Al-Qur’an Al-Karim (karya Muhammad Abu Zahrah), Al-Insan fi Al-Qur’an Al-Karim (karya DR. Ibrahim mahnan), Washaya surat al-isra’ (karya DR. Abd Al-Hayy Al-Farmawi).

e)  Ciri-ciri Metode Maudhu’i
Yang menjadi ciri utama metode ini ialah menonjolkan tema, judul atau topik pembahasan sehingga tidak salah bila di katakan bahwa metode ini juga disebut metode “topikal”. Jadi mufasir mencari tema-tema atau topik-topik yang ada di tengah masyarakat atau berasal dari Al-Qur’an itu sendiri, ataupun dari yang lain. Kemudian tema-tema yang sudah dipilih itu dikaji secara tuntas dan menyeluruh dari berbagai aspek, sesuai dengan kapasitas atau petunjuk yang termuat di dalam ayat-ayat yang ditafsirkan tersebut. Artinya penafsiran yang diberikan tak boleh jauh dari pemahaman ayat-ayat Al-Qur’an, agar tidak terkesan penafsiran tersebut berangkat dari pemikiran atau terkaan belaka (al-Ra’y al-Mahdh). Sementara itu Prof. Dr. Abdul Hay Al-Farmawy seorang  guru besar pada Fakultas Ushuluddin Al-Azhar, dalam bukunya Al-Bidayah fi Al-Tafsir Al-Maudhu’i mengemukakan secara rinci langkah-langkah yang hendak ditempuh untuk menerapkan metode maudhu’i. Langkah-langkah tersebut adalah :
•  Menetapkan masalah yang akan dibahas (topik).
•  Menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah tersebut.
• Menyusun runtutan ayat sesuai dengan masa turunnya, disertai pengetahuan tentang asbab al-nuzulnya.
•  Memahami korelasi ayat-ayat tersebut dalam surahnya masing-masing.
•  Menyusun pembahasan dalam kerangka yang sempurna (out-line).
•  Melengkapi pembahasan dengan hadits-hadits yang relevan dengan pokok bahasan.
• Mempelajari ayat-ayat tersebut secara keseluruhan dengan jalan menghimpun ayat-ayatnya yang mempunyai pengertian yang sama, atau mengkompromikan antara yang ‘am (umum) dan yang  khas (khusus), mutlak dan muqayyad (terikat), atau yang pada lahirnya bertentangan, sehingga kesemuanya bertemu dalam satu muara, tanpa perdebatan atau pemaksaan.


*Selamat Belajar, Rajin adalah kunci sukses kita untuk masa depan*