Monday, March 14, 2016

Makalah Tentang Tafsir Falsafi Beserta Dengan Metode-Metode Dan Corak-Corak Tafsir Serta Contoh Kitab Tafsir Falsafi

MAKALAH

“TAFSIR FALSAFI”

DALAM MATA KULIAH TAUHID


Dosen Pengampu :




images (1).jpg




DisusunOleh :

Ahmad Fadli (1531010018)


JURUSAN FILSAFAT AGAMA

FAKULTAS USHULUDDIN

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI RADEN INTAN LAMPUNG

TAHUN AJARAN

2016/2017



KATA PENGANTAR


Puji syukur kehadirat Allah SWT,karna berkat rahmatnya penulis dapat menyelesaikan makalah yang membahas tentang “TAFSIR FALSAFI” makalah ini di ajukan guna memenuhi tugas mata kuliah Bahasa Indonesia.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu sehingga makalah ini dapat di selesaikan tepat pada waktunya. Makalah ini masih jauh dari sempurna,oleh karna itu,kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan dari sempurnanya makalah ini.

Harapan penulis semoga makalah ini memberikan informasi bagi pembaca dan bermanfaat untuk pengembangan wawasan dan peningkatan ilmu pengetahuan bagi kita semua. Dan yang lebih khusus bagi mahasiswa yang ingin lebih mengetahui tentang Tafsir Falsafi.


                                                                        Selasa, 15 Maret 2016



                                                                        Penulis



























DAFTAR ISI


Halaman Judul................................................................................................ i

Kata Pengentar............................................................................................... ii

Daftar isi.......................................................................................................... iii

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang............................................................................... 1

1.2 Rumusan Masalah........................................................................... 1



PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Tafsir......................................................................................... 2
2.2 Sejarah Munculnya Tafsir Falsafi...............................................................4
2.3 Metode Penafsiran AL-Qur’an................................................................... 6
2.4 Corak-Corak Tafsir..................................................................................... 15

2.5 Contoh Kitab-kitab Tafsir Falsafi...............................................................18     


DAFTAR PUSTAKA








 BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tafsir Falsafi berarti Penjelasan tentang kebenaran makna ayat Quran dengan menggunakan petunjuk yang nyata, serta menggunakan pola pikir yang radikal, sistematis dan universal agar didapat satu kebenaran yang rasional.
Tafsir Falsafi sangat bertentangan dengan Agama Islam, dan penafsiran dengan metode Falsafi ini jauh dari pemahaman nash, sehingga apabila dilakukan, maka akan sama dengan menjadikan agama sebagai filsafat. Di sudut lain bagi kelompok yang mendukung Tafsir dengan metode falsali ini berpendapat bahwa antara falsafah dengan agama Islam tidak ada pertentangan yang signifikan, sebab menurut mereka pada dasarnya wahyu Allah swt. itu tidak bertentangan dengan akal, oleh sebab itu, mereka membuat metode sinergis, dengan mengintegrasikan agama dengan filsafat, yang dimanifestasikan dalam bentuk pemberian takwil pada nas A1 Quran yang tertentu dan memberikan kejelasan sesuai dengan pola pemikiran nalar.

1.2 Rumusan Masalah
1. Pengertian Tafsir?
2. Sejarah Munculnya Tafsir Falsafi?
3. Metode Penafsiran AL-Qur’an?
4. Corak-Corak Tafsir?
5. Contoh Kitab-kitab Tafsir Falsafi?











BAB II
PEMBAHASAN

2.1      Pengertian Tafsir Falsafi

Tafsir falsafi menurut Quraisy Shihab adalah upaya penafsiran Al Qur’an dikaitkan dengan persoalan-persoalan filsafat. Tafsir falsafi, yaitu tafsir yang didominasi oleh teori-teori filsafat sebagai paradigmanya. Ada juga yang mendefisnisikan tafsir falsafi sebagai penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an dengan menggunakan teori-teori filsafat. Hal ini berarti bahwa ayat-ayat Al Qur’an dapat ditafsirkan dengan menggunakan filsafat. Karena ayat Al Qur’an bisa berkaitan dengan persoalan-persoalan filsafat atau ditafsiri dengan menggunakan teori-teori filsafat.
Tafsîr al-Falâsifah, yakni menafsirkan ayat-ayat al-Qur`an berdasarkan pemikiran atau pandangan falsafi, seperti tafsir bi al-ra`y. Dalam hal ini ayat lebih berfungsi sebagai justifikasi pemikiran yang ditulis, bukan pemikiran yang menjustifikasi ayat. seperti tafsir yang dilakukan al-Farabi, ibn Sina, dan ikhwan al-Shafa. Menurut Dhahabi, tafsir mereka ini di tolak dan di anggap merusak agama dari dalam. 
Al Qur’an adalah sumber ajaran dan pedoman hidup umat Islam yang pertama, kitab suci ini menempati posisi sentral dalam segala hal yaitu dalam pengembangan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan keislaman. Pemahaman ayat-ayat Al Qur’an melalui penafsiran mempunyai peranan yang sangat besar bagi maju mundurnya peradaban umat Islam. Di dalam menafsirkan Al Qur’an terdapat beberapa metode yang dipergunakan sehingga membawa hasil yang berbeda-beda pula, sesuai dengan sudut pandang dan latar belakang penafsir masing-masing. Sehingga timbullah berbagai corak penafsiran seperti tafsir shufi, ilmi, adabi, fiqhi dan falsafi dan lain-lain yang tentunya juga akan menimbulkan pembahasan yang luas serta pro-kontra dari zaman ke zaman.
Penafsiran terhadap Al Qur’an telah tumbuh dan berkembang sejak masa awal Islam. Sejalan dengan kebutuhan umat Islam untuk mengetahui seluruh segi kandungan Al Qur’an serta intensitas perhatian para ulama terhadap tafsir, maka tafsir Al Qur’an pun terus berkembang, baik pada masa ulama salaf maupun khalaf bahkan hingga sekarang. Pada tahapan-tahapan perkembangannya tersebut, muncullah karakteristik yang berbeda-beda baik dalam metode maupun corak penafsirannya.
Sejarah telah mencatat perkembangan tafsir yang begitu pesat, seiring dengan kebutuhan, dan kemampuan manusia dalam menginterpretasikan ayat-ayat Tuhan. Setiap karya tafsir yang lahir pasti memiliki sisi positif dan negatif, demikian juga tafsir falsafi yang cenderung membangun proposisi universal hanya berdasarkan logika dan karena peran logika begitu mendominasi, maka metode ini kurang memperhatikan aspek historisitas kitab suci. Namun begitu, tetap ada sisi positifnya yaitu kemampuannyamembangun abstraksi dan proposisi makna-makna latent (tersembunyi) yang diangkat dari teks kitab suci untuk dikomunikasikan lebih luas lagi kepada masyarakat dunia tanpa hambatan budaya dan bahasa. 
Dari pemahaman tersebut tidak tidak terlalu berlebihan kiranya kalau kita mengharapkan nantinya terwujudnya tafsir falsafi ideal, sebuah konsep tafir falsafi yang kontemporer yang tidak hanya berlandaskan interpretasi pada kekuatan logika tetapi juga memberikan perhatian pada realitas sejarah yang mengiringinya. Sebab pada prinsipnya teks Al Qur’an tidak lepas dari struktur historis dan konteks sosiokultural di mana ia diturunkan. Dengan demikian, akan lahir tarfir-tafsir filosofis yang logis dan proporsional, tidak spekulatif dan diberlebih-lebihan. Dan mungkin harapan tersebut tidak terlalu berlebihan karena disamping memang kita belum menemukan tafsir yang secara utuh menggunakan pendekatan filosofis, kalaupun ada itu hanya pemahaman beberapa ayat yang bisa kita temukan dalam buku-buku mereka.
Corak penafsiran ini akan sangat bermanfaat nantinya untuk membuka khazanah keislaman kita, sehingga kita nantinya akan mampu mengetahui maksud dari ayat tersebut dari berbagai aspek, terutama aspek filsafat. Metode berfikir yang digunakan filsafat yang bebas, radikal dan berada dalam dataran makna tentunya akan memperoleh hasil penafsiran yang lebih valid walaupun keberannya masih tetap relatif.
Namun kombinasi hasil penafsiran tersebut dengan aspek sosio-historis tentunya akan semakin menyempurnakan eksistensinya. Sehingga produk tafsir ini jelas akan lebih memikat dan kredibel dari pada tafsir lain.

2.2 Sejarah Munculnya Tafsir Falsafi

Pada saat ilmu-ilmu agama dan sain mengalami kemajuan, kebudayaan-kebudayaan Islam berkembang di wilayah-wilayah kekuasaan Islam dan penerjemahan buku-buku asing ke dalam bahasa Arab digalakkan pada masa khalifah Abbasiyah, diantara buku-buku yang diterjemahkan adalah buku-buku karangan para filosof seperti Aristoteles dan Plato. Pada perkembangan selanjutnya para ulama tafsir mencoba memahami Al-Qur’an dengan metode filsafat tersebut, maka lahirlah metode falsafi. 
Thaba’ Thaba’i dalam tafsir al-Mizan fi tafsir al-Qur’an berpendapat bahwa para filosof menggunakan pemikiran filsafat dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an. Sesuai dengan kecenderungan dan keilmuannya, Diantara tokoh filosof Islam adalah Al-Farabi, Ibnu-Shina. Thaba’ Thaba’i dalam tafsirnya memasukkan pembahasan filsafat sebagai tambahan dalam menerangkan suatu ayat atau menolak teori filsafat yang bertentangan dengan al-Qur’an. Ia menggunakan pembahasan filsafat hanya pada bagian ayat tertentu saja. 
Dalam hal ini, ulama Islam terbagi menjadi dua golongan yaitu sebagai berikut:
Pertama, Golongan yang menolok filsafat, karena mereka menemukan adanya pertentangan antara filsafat dan agama. Kelompok ini secara radikal menentang filsafat dan berusaha menjauhkan umat darinya. Tokoh pelopor kelompok ini adalah Imam al-Ghazali, karena itu ia mengarang kitab al-Isyaratdan kitab-kitab lain untuk menolak faham mereka. Demikian pula Fakhr al-Razi di dalam kitab tafsirnya mengemukakan paham mereka dan membatalkan teori-teori filsafat mereka karena dinilai bertentangan dengan agama dan al-Qur’an. Dia membeberkan ide-ide filsafat yang dipandang bertentangan, khususnya dengan al-Qur’an dan akhirnya ia menolak dengan tegas berdasarkan alasan dan dalil yang ia anggap memadai. 
Kedua, Golongan yang mengagumi dan menerima filsafat meskinya didalamnya terdapat ide-ide yang bertengan dengan nash-nash syar’i. Kelompok ini berupaya mengkompromikan antara filsafat dan agama serta berusaha untuk menyingkapkan segala pertentangan tersebut, namun usaha mereka belum mencapai titik temu secara final, melainkan masih berupaya memecahkan masalah secara setengah-setengah, sebab penjelasan mereka tentang ayat-ayat al-Qur’an semata-mata berangkat dari sudut pandang teori filsafat yang didalamnya banyak hal tidak mungkin diterapkan dan dipaksakan terhadap nash-nash al-Qur’an. 

Jadi sederhananya adalah ada dua alasan dalam mengkompromikan al-Qur’an dengan filsafat, yaitu:
1.      Cara pertama, mereka melakukan ta’wil terhadap nash-nash al-Qur’an sesuai dengan pandangan filosof. Yakni mereka menundukkan nash-nash al-Qur’an pada pandangan-pandangan filsafat. Sehingga keduanya nampak seiring sejalan.
2.      Cara kedua, adalah mereka menjelaskan nash-nash al-Qur’an dengan pandangan pandangan teori filsafat. Mereka menempatkan pandangan para filosof sebagai bagian primer yang mereka ikuti, dan menempatkan al-Qur’an sebagai bagian sekunder yang mengikuti filsafat. Yakni filsafat melampaui al-Qur’an. Cara ini lebih berbahaya dari cara yang pertama. 
Contoh Tafsir Falsafi adalah seperti dikatan al-Dzahabi menyebutkan penafsiran sebagian filosof yang mengingkari kemungkinan mi’raj Nabi Muhammad Saw., dengan fisik di samping ruhnya. Mereka hanya meyakini kemungkinan mi’raj Nabi Muhammad Saw., hanya dengan ruh tanpa jasad.
Di antara kitab tafsir yang ditulis berdasakan corak falsafi ini, yaitu dari golongan pertama yang menolak tafsir falsafat adalah:
1.      Mafatih Al-Ghaib, karya Fakhr al-Razi (w. 606 H)
2.      al-Isyarat, karya Imam al-Ghazali (w. 505 H)
Sedangkan dari golongan kedua seperti komentar al-Dzahabi tidak pernah mendengar bahwa diantara filosof mengarang kitab tafsir al-Qur’an secara lengkap, kerana sejauh ini tidak lebih dari sebagian pemahaman terhadat al-Qur’an secara parsial yang termuat dalam kitab falsafah yang mereka tulis. 
Penulisan secara parsial tafsir falsafi antara lain:
1.       Fushush al-Hikam, karya al-Farabi (w. 339 H)
2.      Rasail Ibn Sina, karya Ibn Sina (w. 370 H)
3.      Rasail Ikhwan al-Safa. 


2.3 Metode Penafsiran Al-Qur’an 

Metode tafsir Al-Qur’an terbagi menjadi tiga macam  yaitu :

1. Tafsir bi al-Ma’tsur 
adalah tafsir yang didasarkan pada periwayatan yaitu tafsir yang merujuk pada penafsiran AL-Qur’an dengan AL-Qur’an, atau penafsiran AL-Qur’an dengan al-Hadits melalui penuturan sahabat. Metode ini, merupakan dua tafsir tertinggi yang tidak dapat dibandingkan dengan sumber lain, karena menyaksikan disaat turunnya wahyu. Penafsiran merekalah yang layak untuk dijadikan sumber. Disamping itu mereka adalah orang yang dididik oleh Rasulullah SAW, dalam berbagai aspek.

2. Tafsir bi al-Ra’yi 
adalah tafsir yang didasarkan kepada nalar atau pengetahuan atau tafsir bi al-dirayah dan juga sering di sebut sebagai tafsir bi al ma’qul bagi para mufassir yang mengandalkan ijtihad mereka dan tidak didasarkan pada riwayat sahabat dan tabi’in. Sandaran meraka adalah bahasa, budaya arab yang terkandung didalamnya, pengetahuan entang gaya bahasa sehari-hari dan kesadaran akan pentingnya sains yang amat diperlukan oleh merka yang ingin menafsirkan AL-Qur’an.

3. Tafsir bi al-Isyari 
adalah tafsir yang berdasarkan atas isyarat (indikasi) ialah penafsiran ayat AL-Qur’an yang mengabaikan makna dhahirnya. Disebut juga bahwa penfsiran AL-Qur’an ini berdasarkan indikasi (isyrat) yang dapat diterima oleh sebagian orang yang sadar dan berpengetahuan atau tampak bagi orang yang memilika akhlak terpuji dan melawan hawa nafsu mereka. 

Metode Study atas hasil karya penafsiran para ulama sekarang ini, secara umum menunjukkan bahwa mereka menggunakan metode-metode penafsiran dalam empat cara (metode), yaitu :
1.  Ijmaly (global)
2.  Tahlily (analistis),
3.  Muqaran (perbandingan),
4.  Maudhu’i (tematik). 

1)  Metode Ijmali (Global)
a)  Pengertian
Yang dimaksud dengan metode al-Tafsir al-Ijmali (global) ialah suatu metoda tafsir yang menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan cara mengemukakan makna global. Pengertian tersebut menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an secara ringkas tapi mencakup dengan bahasa yang populer, mudah dimengerti dan enak dibaca. Sistematika penulisannya menurut susunan ayat-ayat di dalam muskhaf. Di samping itu penyajiannya tidak terlalu jauh dari gaya bahasa Al-Qur’an sehingga pendengar dan pembacanya seakan-akan masih tetap mendengar Al-Qur’an padahal yang didengarnya itu tafsirnya. Ketika menggunakan metode ini, para mufassir menjelaskan Al-Qur’an dengan bantuan sebab turun ayat (asbab an-nuzul), peristiwa sejarah, hadis nabi, atau pendapat ulama saleh.

b)  Kelebihan
-  Praktis dan mudah dipahami  oleh  ummat  dari berbagai  strata  sosial  dan  lapisan masyakat. 
-  Bebas  dari  penafsiran  kemungkinan israiliah maka  tafsir ijmali  relatif murni  dan  terbebas  dari  pemikiran-pemikiran  Israiliat  dapat dibendung pemikiran-pemikiran yang kadang-kadang terlalu jauh dari pemahaman ayat-ayat al-Qur’an seperti pemikiran-pemikiran spekulatif .
-   Akrab dengan bahasa al-Qur’an: karena tafsir ini dengan metode global menggunakan bahasa yang singkat dan akrab dengan bahasa arab tersebut.

c)  Kelemahan
-  Menjadikan  petunjuk al-Qur’an bersifat parsial: padahal al-Qur’an merupakan satu-kesatuan yang utuh, sehingga satu ayat dengan ayat yang lain membentuk satu pengertian yang  utuh, tidak terpecah-pecah dan berarti, hal-hal yang global atau samar-samar di dalam suatu ayat, maka pada ayat yang lain ada penjelasan yang lebih rinci. Dengan menggabungkan kedua ayat tersebut akan diperoleh suatu pemahaman yang utuh dan dapat terhindar dari kekeliruan.
-  Tidak ada ruangan untuk mengemukakan analisis yang memadai: Tafsir yang memakai metode  ijmali  tidak menyediakan  ruangan untuk memberikan uraian yang luas, jika menginginkan  adanya  analisis  yang  rinci, metode global tak dapat diandalkan. Ini disebut suatu kelemahan yang disadari oleh mufassir yang menggunakan metode  ini.

d)  Contoh kitab tafsir ijmali
Di antara kitab-kitab tafsir dengan metode ijmali, yaitu tafsir al-Jalalain karya Jalal al-Din al-Suyuthy dan Jalal al-Din al-Mahally, Tafsir al-Qur’an al-’Adhin olah Ustadz Muhammad Farid Wajdy, Shafwah al-Bayan li Ma’any  al-Qur’an  karangan Syaikh Husanain Muhammad Makhlut,  al-Tafsir  al-Muyassar karangan Syaikh Abdul al-Jalil Isa, dan lain sebagainya.

e)   Ciri-ciri Metode Ijmali
Dalam metode ijmali seorang mufasir langsung menafsirkan Al-Qur’an dari awal sampai akhir tanpa perbandingan dan penetapan judul. Pola serupa ini tidak jauh berbeda dengan metode alalitis, namun uraian di dalam Metode Analitis lebih rinci daripada di dalam metode global sehingga mufasir lebih banyak dapat mengemukakan pendapat dan ide-idenya. Sebaliknya di dalam metode global, tidak ada ruang bagi mufasir untuk mengemukakan pendapat serupa itu. Itulah sebabnya kitab-kitab Tafsir ijmali seperti disebutkan di atas tidak memberikan penafsiran secara rinci, tapi ringkas dan umum sehingga seakan-akan kita masih membaca Al-Qur’an padahal yang dibaca tersebut adalah tafsirnya. Namun pada ayat-ayat tertentu diberikan juga penafsiran yang agak luas, tapi tidak sampai pada wilayah tafsir analitis.


2)  Metode Tahliliy (Analisis)
a)  Pengertian
Yang dimaksud dengan Metode Tahliliy (Analisis) ialah menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan memaparkan segala aspek yang terkandung di dalam ayat-ayat yang ditafsirkan itu serta menerangkan makna-makna yang tercakup di dalamnya, sesuai dengan keahlian dan kecenderungan mufasir yang menafsirkan ayat-ayat tersebut. Di mulai dari uraian makna kosokata, makna kalimat, maksut stiap ungkapan, kaitan antar pemisah sampai sisi-sisi keterkaitan antar pemisah itu dengan bantuan asbab an-nuzul, riwayat-riwayat yang berasal dari Nabi Muhammad SAW, sahabat, dan tabi’in. Prosedur ini dilakukan dengan mengikuti susunan mushaf, ayat per ayat dan surat per surat. Metode ini terkadang menyertakan pula perkembangan kebudayaan generasi Nabi sampai tabi’in , terkadang pula diisi dengan uraian-uraian kebahasaan dan materi-materi khusus lainnya yang kesemuanya ditujukan untuk memahami Al-Qur’an yang mulia.
b)  Kelebihan
-  Ruang lingkup yang luas: Metode analisis mempunyai  ruang  lingkup yang  termasuk  luas. Metode  ini dapat digunakan  oleh mufassir  dalam  dua  bentuknya; ma’tsur  dan  ra’y  dapat dikembangkan dalam berbagai penafsiran sesuai dengan keahlian masing-masing mufassir.
c)  Kelemahan
-  Menjadikan petunjuk  al-Qur’an parsial atau  terpecah-pecah,tidak  utuh  dan  tidak  konsisten karena penafsiran yang diberikan pada suatu ayat berbeda dari penafsiran yang  diberikan  pada  ayat-ayat  lain  yang  sama  dengannya. Terjadinya perbedaan, karena kurang memperhatikan ayat-ayat  lain yang mirip atau sama dengannya.
-  Masuknya  pemikiran Israiliat  sebab berbagai  pemikiran  mufassir dapat masuk ke  dalamnya,  tidak  tercuali  pemikiran  Israiliat Contohnya,  kitab tahlili seperti  dalam  penafsiran  al-Qurthubi  tentang penciptaan manusia pertama, termaktub di dalam ayat 30 surah al-Baqarah disini terselib cerita israiliyyat.


d)  Contoh kitab tafsir tahlili
Di antara kitab-kitab tafsir dengan metode ijmali antara lain :Ma’alim al- Tanzil(karya al -Baghawi), Tafsir Al-Qur’an al-‘Azhim (karya Ibn Katsir), Tafsir al-Khazin (karya al-Khazin),Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil (karya al -Baidhawy)

e)  Ciri-ciri Metode Tahlili
Pola penafsiran yang diterapkan para penafsir yang menggunakan metode tahlili terlihat jelas bahwa mereka berusaha menjelaskan makna yang terkandung di dalam ayat-ayat Al-Qur’an secara komprehenshif dan menyeluruh, baik yang berbentuk al-ma’tsur, maupun al-ra’yi, sebagaimana dalam penafsiran tersebut, Al-Qur’an ditafsirkan ayat demi ayat dan surat demi surat secara berurutan, serta tak ketinggalan menerangkan asbab al-nuzul dari ayat-ayat yang ditafsirkan. Penafsiran yang mengikuti metode ini dapat mengambil bentuk  ma’tsur  (riwayat) atau ra’y (pemikiran)

3)  Metode Muqaran (Komparatif/Perbandingan)
a)  Pengertian
Pengertian metode muqaran (komparatif) dapat dirangkum sebagai berikut :
• Membandingkan teks (nash) ayat-ayat Al-Qur’an yang memiliki persamaan atau kemiripan redaksi dalam dua kasus atau lebih, dan atau memiliki redaksi yang berbeda bagi satu kasus yang sama;
• Membandingkan ayat Al-Qur’an dengan Hadits Nabi SAW, yang pada lahirnya terlihat bertentangan;
•  Membandingkan berbagai pendapat ulama’ tafsir dalam menafsirkan Al-Qur’an.
Jadi metode tafsir muqaran adalah menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an dengan merujuk pada penjelasan-penjelasan para mufassir. Langkah  yang ditempuh ketika menggunakan metode ini adalah sebagai berikut:

1. Mengumpulkan sejumlah ayat Al-Qur’an
2. Mengemukakan penjelasan para mufassir, baik kalangan salaf atau kalangan khalaf, baik tafsirnya bercorak bi al-ma’tsur atau bi ar-ra’yi
3.  Membandingkan kecenderungan tafsir mereka masing-masing.
4.  Menjelaskan siapa saja yang mengemukakan tafsirannya dalam kelompok-kelompok.
Selain rumusan di atas, metode muqaran mempunyai pengertian lain yang lebih luas, yaitu membandingkan ayat-ayat Al-Qur’an yang berbicara tentang tema tertentu, atau mmbandingkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan hadits-hadits Nabi, termasuk dengan hadits-hadits yang makna tekstualnya tampak kontradiktif dengan Al-Qur’an, atau dengan kajian-kajian lainnya.
b)   Kelebihan
-  Memberikan wawasan penafsiran yang  relatif  lebih  luas  kepada  pada  pembaca  bila  dibandingkan  dengan metode-metode lain. Di dalam penafsiran ayat al-Qur’an dapat ditinjau dari berbagai disiplin  ilmu pengetahuan sesuai dengan keahlian mufassirnya,
-  Membuka pintu untuk selalu bersikap toleransi terhadap pendapat orang lain yang kadang-kadang jauh berbeda dari pendapat kita dan tak mustahil ada yang kontradiktif. Dapat mengurangi fanatisme yang berlebihan kepada suatu mazhab atau aliran tertentu,
-  Tafsir dengan metode ini amat berguna bagi mereka yang ingin mengetahui berbagai pendapat tentang suatu ayat,
c)  Kelemahan
-  Penafsiran dengan memakai metode ini tidak dapat diberikan kepada pemula yang baru mempelajari tafsir,karena pembahasan yang dikemukakan di dalamnya terlalu luas dan kadang-kadang ekstrim,
-  Metode  ini kurang dapat diandalkan untuk menjawab permasalahan sosial yang  tumbuh di  tengah masyarakat, karena metode ini lebih mengutamakan perbandingan dari pada pemecahan masalah

d)  Contoh kitab tafsir Muqaran
Adapun kitab-kitab yang menggunakan metode Muqaran diantaranya adalah: Kitab Durrah al-Tanzil wa al-Gurrah al-Ta‘wil karya al-Iskafi, mengkaji perbandingan antara ayat dengan ayat, Jami‘ Ahkam al-Qur’an karya al-Qurtubi, kitab ini membandingkan penafsiran para mufassir.
e)  Ciri-ciri Metode Muqaran
Perbandingan adalah ciri utama bagi Metode Komparatif. Disini letak salah satu perbedaan yang prinsipil antara metode ini dengan metode-metode lain. Hal ini disebabkan karena yang dijadikan bahan dalam memperbandingkan ayat dengan ayat atau ayat dengan hadits, adalah pendapat para ulama tersebut dan bahkan dalam aspek yang ketiga. Oleh sebab itu jika suatu penafsiran dilakukan tanpa membandingkan berbagai pendapat yang dikemukakan oleh para ahli tafsir, maka pola semacam itu tidak dapat disebut “metode muqaran”.

4)  Metode Maudhu’iy (Tematik)
a)  Pengertian
Yang dimaksud dengan metode mawdhu’iy ialah membahas ayat-ayat Al-Quran sesuai dengan tema atau judul yang telah ditetapkan. Semua ayat yang berkaitan, dihimpun. Kemudian dikaji secara mendalam dan tuntas dari berbagai aspek yang terkait dengannya seperti asbab al-nuzul, kosa kata dan sebagainya. Semuanya dijelaskan secara rinci dan tuntas, serta didukung oleh dalil-dalil atau fakta yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah baik argumen itu berasal dari Al-Qur’an dan Hadits, maupun pemikiran rasional. 

b)  Kelebihan
-  Menghindari problem atau kelemahan metode lain
- Menafsirkan ayat dengan ayat atau hadits Nabi, satu cara terbaik dalam menafsirkan al-Qur’an
-  Kesimpulan yang dihasilkan mudah dipahami
- Metode ini  memungkinkan seseorang untuk  menolak anggapan adanya ayat-ayat  yang  bertentangan  dalam  al-Quran,  sekaligus  membuktikan bahwa  ayat-ayat   al-Qur’an   sejalan   dengan   perkembangan   ilmu pengetahuan dan masyarakat.

c)  Kekurangan
-  Kesullitan dalam memenggal ayat al-Qur’an: Yang dimaksud memenggal ayat al-Qur’an ialah suatu kasus yang terdapat di dalam suatu ayat atau lebih mengandung banyak permasalahan yang berbeda. Misalnya, petunjuk tentang shalat dan zakat. Biasanya kedua ibadah itu diungkapkan bersama dalam satu ayat. Apabila ingin membahas kajian tentang zakat misalnya, maka mau tidak mau ayat tentang shalat harus di tinggalkan ketika menukilkannya dari mushaf agar tidak mengganggu pada waktu melakukan analisis.
-  Membatasi pemahaman ayat: Dengan diterapkannya judul penafsiran, maka pemahaman suatu ayat menjadi terbatas pada permasalahan yang dibahas tersebut. Akibatnya mufassir terikat oleh judul itu.
d)  Contoh kitab tafsir Maudhu’i
Di antara kitab-kitab tafsir dengan metode Maudhu’i, yaitu :Al-Mar’ah fi Al-Qur’an Al-Karim (karya Abbas Al-Aqqad), Ar-Riba fi Al-Qur’an Al-Karim (karya Abu A’la Al-Maududi), Al-Aqidah fi Al-Qur’an Al-Karim (karya Muhammad Abu Zahrah), Al-Insan fi Al-Qur’an Al-Karim (karya DR. Ibrahim mahnan), Washaya surat al-isra’ (karya DR. Abd Al-Hayy Al-Farmawi).


e)  Ciri-ciri Metode Maudhu’i
Yang menjadi ciri utama metode ini ialah menonjolkan tema, judul atau topik pembahasan sehingga tidak salah bila di katakan bahwa metode ini juga disebut metode “topikal”. Jadi mufasir mencari tema-tema atau topik-topik yang ada di tengah masyarakat atau berasal dari Al-Qur’an itu sendiri, ataupun dari yang lain. Kemudian tema-tema yang sudah dipilih itu dikaji secara tuntas dan menyeluruh dari berbagai aspek, sesuai dengan kapasitas atau petunjuk yang termuat di dalam ayat-ayat yang ditafsirkan tersebut. Artinya penafsiran yang diberikan tak boleh jauh dari pemahaman ayat-ayat Al-Qur’an, agar tidak terkesan penafsiran tersebut berangkat dari pemikiran atau terkaan belaka (al-Ra’y al-Mahdh). Sementara itu Prof. Dr. Abdul Hay Al-Farmawy seorang  guru besar pada Fakultas Ushuluddin Al-Azhar, dalam bukunya Al-Bidayah fi Al-Tafsir Al-Maudhu’i mengemukakan secara rinci langkah-langkah yang hendak ditempuh untuk menerapkan metode maudhu’i. Langkah-langkah tersebut adalah :

•  Menetapkan masalah yang akan dibahas (topik).
•  Menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah tersebut.
• Menyusun runtutan ayat sesuai dengan masa turunnya, disertai pengetahuan tentang asbab al-nuzulnya.
•  Memahami korelasi ayat-ayat tersebut dalam surahnya masing-masing.
•  Menyusun pembahasan dalam kerangka yang sempurna (out-line).
•  Melengkapi pembahasan dengan hadits-hadits yang relevan dengan pokok bahasan.
• Mempelajari ayat-ayat tersebut secara keseluruhan dengan jalan menghimpun ayat-ayatnya yang mempunyai pengertian yang sama, atau mengkompromikan antara yang ‘am (umum) dan yang  khas (khusus), mutlak dan muqayyad (terikat), atau yang pada lahirnya bertentangan, sehingga kesemuanya bertemu dalam satu muara, tanpa perdebatan atau pemaksaan. 

2.4 Corak-Corak Tafsir


A. Pengertian Corak Tafsir
Dalam kamus bahasa Indonesia kata corak mempunyai beberapa makna. Di antaranya Corak berarti bunga atau gambar (ada yang berwarna -warna ) pada kain( tenunan, anyaman dsb), Juga bermakna berjenis jenis warna pada warna dasar, juga berarti sifat( faham, macam, bentuk) tertentu. Kata corak dalam literatur sejarah tafsir, biasanya digunakan sebagai terjemahan dari kata al-laun, bahasa Arab yang berarti warna. Istilah ini pula di gunakan Azzahaby dalam kitabnya At-Tafsir Wa-al-Mufassirun. Berikut ulasan beliau :
Tafsir adalah Ilmu untuk memahami kitabullah yang di turunkan kepada nabi Muhammad SAW untuk menjelaskan makna-maknanya, menyimpulkan hukum –hukumnya dan hikmah-hikmahnya.
Jadi, corak tafsir adalah nuansa atau sifat khusus yang mewarnai sebuah penafsiran dan merupakan salah satu bentuk ekspresi intelektual seseorang mufassir, ketika ia menjelaskan maksud-maksud ayat al-Qur’an. Artinya bahwa kecenderungan pemikiran atau ide tertentu mendominasi sebuah karya tafsir .


B. Macam-macam Corak Tafsir


1.    CORAK LUGHAWI
        Tafsir lughawi adalah tafsir yang mencoba menjelaskan makna-makna al-Qur’an dengan menggunakan kaidah-kaidah kebahasaan. Seseorang yang ingin menafsirkan al-Qur’an dengan pendekatan bahasa harus mengetahui bahasa yang digunakan al-Qur’an yaitu bahasa arab dengan segala seluk-beluknya, baik yang terkait dengan nahwu, balaghah dan sastranya. Ahmad Syurbasyi menempatkan ilmu bahasa dan yang terkait (nahwu, sharaf, etimologi, balaghah dan qira’at) sebagai syarat utama bagi seorang mufassir. Di sinilah, urgensi bahasa akan sangat tampak dalam penafsirkan al-Qur’an.


2.    CORAK ‘ILMI
Tafsri ‘Ilmi adalah menafsirkan ayat-ayat al qur’an berdasarkan pendekatan Ilmiyah atau menggali kandungan al qur’an berdasarkan teori-teori ilmu pengetahuan. Alasan yang melahirkan penafsiran ilmiah adalah karena seruan al-Quran pada dasarnya adalah sebuah seruan ilmiah. Yaitu seruan yang didasarkan pada kebebasan akal dari keragu-raguan dan prasangka buruk, bahkan al-Quran mengajak untuk merenungkan fenomena alam semesta, atau seperti juga banyak kita jumpai ayat-ayat al-Quran ditutup dengan ungkapan-ungkapan, “Telah kami terangkan ayat-ayat ini bagi mereka yang miliki ilmu”, atau dengan ungkapan, “bagi kaum yang memiliki pemahaman”, atau dengan ungkapan, “bagi kaum yang berfikir.”.


3.    CORAK TASIR FIQH
Corak Tafsir Fiqhi adalah corak tafsir yang menitikberatkan kepada pembahasan masalah-masalah fiqhiyyah dan cabang-cabangnya serta membahas perdebatan atau perbedaan pendapat seputar pendapat-pendapat imam madzhab. Tafsir fiqhi ini juga dikenal dengan tafsir ahkam, yaitu tafsir yang lebih berorientasi kepada ayat-ayat hukum dalam al-Qur’an (ayat-ayat ahkam). Tafsir fiqhi lebih populer dengan sebutan tafsir ahkam karena lebih berorientasi pada ayat-ayat hukum dalam Al Qur’an. Orang yang pertama berhak menyandang predikat mufassir adalah Rasulullah SAW, kemudian para shahabat.


4.    CORAK FALSAFI
Tafsîr al-Falâsifah, yakni menafsirkan ayat-ayat al-Qur`an berdasarkan pemikiran atau pandangan falsafi, seperti tafsir bi al-ra`y. Dalam hal ini ayat lebih berfungsi sebagai justifikasi pemikiran yang ditulis, bukan pemikiran yang menjustifikasi ayat.Seperti tafsir yang dilakukan al-Farabi, ibn Sina, dan ikhwan al-Shafa. Menurut Dhahabi, tafsir mereka ini di tolak dan di anggap merusak agama dari dalam.
  Corak penafsiran ini akan sangat bermanfaat nantinya untuk membuka khazanah keislaman kita, sehingga kita nantinya akan mampu mengetahui maksud dari ayat tersebut dari berbagai aspek, terutama aspek filsafat. Metode berfikir yang digunakan filsafat yang bebas, radikal dan berada dalam dataran makna tentunya akan memperoleh hasil penafsiran yang lebih valid walaupun keberannya masih tetap relatif.


5.    CORAK SHUFI
Tafsîr al-Shufiyah, yakni tafsir yang didasarkan atas olah sufistik, dan ini terbagi dalam dua bagian; tafsîr shûfi nadzary dan tafsîr shûfi isyary. Tafsir sufi nadzary adalah tafsir yang didasarkan atas perenungan pikiran sang sufi (penulis) seperti renungan filsafat dan ini tertolak. Tafsir sufi isyary adalah tafsir yang didasarkan atas pengalaman pribadi (kasyaf) si penulis seperti tafsîr al-Qur`an al-`Adzîm karya al-Tustari, Haqâiq al-Tafsîr karya al-Sulami dan `Arâis al-Bayân fî Haqâiq al-Qur`an karya al-Syairazi. Tafsir sufi isyari ini bisa diterima (diakui) dengan beberapa syarat, (1) ada dalil syar`i yang menguatkan, (2) tidak bertentangan dengan syari’at/rasio, (3) tidak menafikan makna zahir teks. Jika tidak memenuhi syarat ini, maka ditolak. Corak penafsiran Sufi ini didasarkan pada argumen bahwa setiap ayat al-Qur’an secara potensial mengandung 4 tingkatan makna:Zhahir, Batin, Hadd, dan matla’.


6.    CORAK ADABI DAN IJTIMA’I
Tafsir adabi Ijtima’i sebagaimana disebutkan oleh al Farmawi adalah Corak tafsir yang menitikberatkan penjelasan ayat-ayat al Qur’an pada Aspek ketelitian redaksinya lalu menyusun kandungannya dalam redaksi yang indah dengan penonjolan aspek-aspek petunjuk al Qur’an bagi kehidupan, serta menghubungkan pengertian ayat tersebut dengan hukum alam yang berlaku dalam masyarakat dan pembangunan dunia.


7.    CORAK BALAGHI DAN BAYANI
Corak Balaghi, yaitu jika seorang Mufassir menafsirkan Al Qur’an didasarkan pada segi Balaghohnya (Keindahan Perkataan dan Uslub Al Qur’an). Adapun contoh corak tafsir Balaghi tedapat pada tafsir Al Kasysyaf karya Al Zamakhsyari.
Sedangkan, Corak Bayani, yaitu tafsir pembahasannya berkisar padaBalaghotu al Qur’an dalam bentuk Ilmu bayan seperti Tasybih Isti’aroh, Tamsil, Washal, Fashal, dan cabang-cabangnya seperti penggunaan Makna Denotasi (Haqiqi) dan Majazi (Metafor) dan semacamnya.


Tafsir Balaghah meliputi tiga aspek yaitu:
1.  Tafsir Ma’an al-Qur’an yaitu tafsir yang khusus mengkaji makna-makna kosa kata al-Qur’an atau terkdang disebut ensiklopedi praktis seperti kitab Ma’an al-Qur’an karya Abd Rahim Fu’dah.
2.   Tafsir Bayan al-Qur’an yaitu tafsir yang mengedapankan penjelasan lafal dari akarkata kemudian dikaitkan antara satu makna dengan makna yang lain seperti kitab Tafsir al-Bayani al-Qur’an karya Aisyah Abd Rahman bint al-Syathi’.
3.   Tafsir badi’ al-Qur’an yaitu tafsir yang cenderung mengkaji al-Qur’an dari aspek keindahan susunan dan gaya bahasanya, seperti Badi’ al-Qur’an karya Ibn Abi al-Ishba’ al-Mishry (w. 654 H).


8.      CORAK HARAKI
Corak Haraki, yaitu tafsir yang ditulis dan disusun oleh seorang tokoh pergerakan umat Islam. Dalam hal ini seorang mufassir berusaha menjelaskan Maksud Allah dalam al Qur’an, khususnya yang terkait dengan perubahan dan pergerakan sosial kearah yang lebih baik. Tafsir Haraki ini tidak hanya bertujuan menafsirkan al Qur’an, tetapi juga mengajak umat untuk memperbaiki keadaan sosial yang buruk ke arah keadaan sosial yang lebih baik.dalam hal ini, mufassir juga mengedapankan perhatiannya untuk mengajak masyarakat agar kembali kepada ajaran agama yang benar, mensucikan agama dari segala bentuk Khurafat dan Isroilliyat. Contoh tafsir Haraki adalah Tafsir Fi Zhilalil al Qur’an karya Sayyid Quthub.


2.5 Contoh Kitab-kitab Tafsir Falsafi

1.  Mafatih al-Ghaib yang dikarang al-fakhr al-Razi
2.  Tafsir Al-Qur’an al-Adhim, karangan Imam Al-Tustury.
3.  Haqaiq al-Tafsir, karangan al-Allamah Al-Sulamy.
4.  ‘Arais al-Bayan fy Haqaiq al-Qur’an, karangan Imam Al-Syiraz



BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Tafsir Fasafi adalah penafsiran berdasarkan teori-teori filsafat.  Adapun factor kemunculannya (secara konkrit) adalah adanya penerjemahan buku-buku filsafat Yunani ke dalam bahasa arab pada masa masa Dinasti Abbbasiah.
 Metodoogi yang digunakan dalam tafsir falsafi cenderung lebih mengedapankan pemikiran dengan mencari hakiki dan menyampigkan aspek historitas dan konteksnya. Hal ini menjadi kekurangan sekaligus kelebihan dari Tafsir Falsafi ini.
1. Metode tafsir al-Quran adalah suatu cara yang teratur dan terpikir baik-baik untuk mencapai pemahaman yang benar tentang apa yang dimaksudkan Allah di dalam ayat-ayat al-Quran.
2.  Metode-metode penafsiran dibagi dalam  empat cara (metode), yaitu :
a.  Metode Ijmali (Global) adalah  suatu metoda tafsir yang menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan cara mengemukakan makna global. 
b. Metode Tahlil (analisis) adalah menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan memaparkan segala aspek yang terkandung di dalam ayat-ayat yang ditafsirkan itu serta menerangkan makna-makna yang tercakup di dalamnya, sesuai dengan keahlian dan kecenderungan mufasir yang menafsirkan ayat-ayat tersebut.
c. Metode Muqaran (Komparatif/Perbandingan) adalah menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an dengan merujuk pada penjelasan-penjelasan para mufassir.
d.  Metode Maudhu’iy (Tematik) adalah membahas ayat-ayat Al-Quran sesuai dengan tema atau judul yang telah ditetapkan.




3.      Klasifikasi dan corak tafsir antara lain:
a. Tafsir bi Al-Ma’tsur
b.  Tafsir bi Al-Ra’yi
c.  Tafsir Ash-Shufi
d.  Tafsir Al-Fiqhi
e.  Tafsir Al-Falsafi
f.  Tafsir Al-Ilimi
g.  Tafsir Al-Adabi Al-Ijtima





DAFTAR PUSTAKA
1. Abdul Hayy Al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhu’i Dan Cara Perepannya, Penerjemah, Suryan A. Jamrah, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1994
2. Muhammad Husein al-Dzhabi, At-Tafsir wa Al-Mufassirun, (Bairut: Dar al-Fikri, 1995)
3. Muhammad Ghazali Syeikh. Tafsir Tematik Dalam Al-Qur’an. Gaya Media Pratama. Jakarta. 2005
4. Ushma Thameem. Metodologi Tafsir AL-QUR’AN. Riora Cipta. Jakarta. 2000
5. Al-Majlis al-A’la li al-Syuuni al-Islamiyah, al-Mausuah al-Qur’aniyah al-Mutakhossisah, (Kairo: Wazir al-Auqaf, 2003),

1 comment: