Tuesday, March 8, 2016

Pengertian Tafsir Falsafi beserta metodologi penafsiran AL-Qur'an

                                                    Pengertian Tafsir Falsafi
Tafsir falsafi menurut Quraisy Shihab adalah upaya penafsiran Al Qur’an dikaitkan dengan persoalan-persoalan filsafat. Tafsir falsafi, yaitu tafsir yang didominasi oleh teori-teori filsafat sebagai paradigmanya. Ada juga yang mendefisnisikan tafsir falsafi sebagai penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an dengan menggunakan teori-teori filsafat. Hal ini berarti bahwa ayat-ayat Al Qur’an dapat ditafsirkan dengan menggunakan filsafat. Karena ayat Al Qur’an bisa berkaitan dengan persoalan-persoalan filsafat atau ditafsiri dengan menggunakan teori-teori filsafat.
Tafsîr al-Falâsifah, yakni menafsirkan ayat-ayat al-Qur`an berdasarkan pemikiran atau pandangan falsafi, seperti tafsir bi al-ra`y. Dalam hal ini ayat lebih berfungsi sebagai justifikasi pemikiran yang ditulis, bukan pemikiran yang menjustifikasi ayat. seperti tafsir yang dilakukan al-Farabi, ibn Sina, dan ikhwan al-Shafa. Menurut Dhahabi, tafsir mereka ini di tolak dan di anggap merusak agama dari dalam.
Al Qur’an adalah sumber ajaran dan pedoman hidup umat Islam yang pertama, kitab suci ini menempati posisi sentral dalam segala hal yaitu dalam pengembangan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan keislaman. Pemahaman ayat-ayat Al Qur’an melalui penafsiran mempunyai peranan yang sangat besar bagi maju mundurnya peradaban umat Islam. Di dalam menafsirkan Al Qur’an terdapat beberapa metode yang dipergunakan sehingga membawa hasil yang berbeda-beda pula, sesuai dengan sudut pandang dan latar belakang penafsir masing-masing. Sehingga timbullah berbagai corak penafsiran seperti tafsir shufi, ilmi, adabi, fiqhi dan falsafi dan lain-lain yang tentunya juga akan menimbulkan pembahasan yang luas serta pro-kontra dari zaman ke zaman.
Penafsiran terhadap Al Qur’an telah tumbuh dan berkembang sejak masa awal Islam. Sejalan dengan kebutuhan umat Islam untuk mengetahui seluruh segi kandungan Al Qur’an serta intensitas perhatian para ulama terhadap tafsir, maka tafsir Al Qur’an pun terus berkembang, baik pada masa ulama salaf maupun khalaf bahkan hingga sekarang. Pada tahapan-tahapan perkembangannya tersebut, muncullah karakteristik yang berbeda-beda baik dalam metode maupun corak penafsirannya.
Sejarah telah mencatat perkembangan tafsir yang begitu pesat, seiring dengan kebutuhan, dan kemampuan manusia dalam menginterpretasikan ayat-ayat Tuhan. Setiap karya tafsir yang lahir pasti memiliki sisi positif dan negatif, demikian juga tafsir falsafi yang cenderung membangun proposisi universal hanya berdasarkan logika dan karena peran logika begitu mendominasi, maka metode ini kurang memperhatikan aspek historisitas kitab suci. Namun begitu, tetap ada sisi positifnya yaitu kemampuannyamembangun abstraksi dan proposisi makna-makna latent (tersembunyi) yang diangkat dari teks kitab suci untuk dikomunikasikan lebih luas lagi kepada masyarakat dunia tanpa hambatan budaya dan bahasa.
Dari pemahaman tersebut tidak tidak terlalu berlebihan kiranya kalau kita mengharapkan nantinya terwujudnya tafsir falsafi ideal, sebuah konsep tafir falsafi yang kontemporer yang tidak hanya berlandaskan interpretasi pada kekuatan logika tetapi juga memberikan perhatian pada realitas sejarah yang mengiringinya. Sebab pada prinsipnya teks Al Qur’an tidak lepas dari struktur historis dan konteks sosiokultural di mana ia diturunkan. Dengan demikian, akan lahir tarfir-tafsir filosofis yang logis dan proporsional, tidak spekulatif dan diberlebih-lebihan. Dan mungkin harapan tersebut tidak terlalu berlebihan karena disamping memang kita belum menemukan tafsir yang secara utuh menggunakan pendekatan filosofis, kalaupun ada itu hanya pemahaman beberapa ayat yang bisa kita temukan dalam buku-buku mereka.
Corak penafsiran ini akan sangat bermanfaat nantinya untuk membuka khazanah keislaman kita, sehingga kita nantinya akan mampu mengetahui maksud dari ayat tersebut dari berbagai aspek, terutama aspek filsafat. Metode berfikir yang digunakan filsafat yang bebas, radikal dan berada dalam dataran makna tentunya akan memperoleh hasil penafsiran yang lebih valid walaupun keberannya masih tetap relatif.
Namun kombinasi hasil penafsiran tersebut dengan aspek sosio-historis tentunya akan semakin menyempurnakan eksistensinya. Sehingga produk tafsir ini jelas akan lebih memikat dan kredibel dari pada tafsir lain.

Metode Penafsiran Al-Qur’an 

Metode tafsir Al-Qur’an terbagi menjadi tiga macam  yaitu :

1. Tafsir bi al-Ma’tsur 
adalah tafsir yang didasarkan pada periwayatan yaitu tafsir yang merujuk pada penafsiran AL-Qur’an dengan AL-Qur’an, atau penafsiran AL-Qur’an dengan al-Hadits melalui penuturan sahabat. Metode ini, merupakan dua tafsir tertinggi yang tidak dapat dibandingkan dengan sumber lain, karena menyaksikan disaat turunnya wahyu. Penafsiran merekalah yang layak untuk dijadikan sumber. Disamping itu mereka adalah orang yang dididik oleh Rasulullah SAW, dalam berbagai aspek.

2. Tafsir bi al-Ra’yi 
adalah tafsir yang didasarkan kepada nalar atau pengetahuan atau tafsir bi al-dirayah dan juga sering di sebut sebagai tafsir bi al ma’qul bagi para mufassir yang mengandalkan ijtihad mereka dan tidak didasarkan pada riwayat sahabat dan tabi’in. Sandaran meraka adalah bahasa, budaya arab yang terkandung didalamnya, pengetahuan entang gaya bahasa sehari-hari dan kesadaran akan pentingnya sains yang amat diperlukan oleh merka yang ingin menafsirkan AL-Qur’an.

3. Tafsir bi al-Isyari 
adalah tafsir yang berdasarkan atas isyarat (indikasi) ialah penafsiran ayat AL-Qur’an yang mengabaikan makna dhahirnya. Disebut juga bahwa penfsiran AL-Qur’an ini berdasarkan indikasi (isyrat) yang dapat diterima oleh sebagian orang yang sadar dan berpengetahuan atau tampak bagi orang yang memilika akhlak terpuji dan melawan hawa nafsu mereka.

Metode Study atas hasil karya penafsiran para ulama sekarang ini, secara umum menunjukkan bahwa mereka menggunakan metode-metode penafsiran dalam empat cara (metode), yaitu :
1.  Ijmaly (global)
2.  Tahlily (analistis),
3.  Muqaran (perbandingan),
4.  Maudhu’i (tematik).


1)  Metode Ijmali (Global)

a)  Pengertian
Yang dimaksud dengan metode al-Tafsir al-Ijmali (global) ialah suatu metoda tafsir yang menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan cara mengemukakan makna global. Pengertian tersebut menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an secara ringkas tapi mencakup dengan bahasa yang populer, mudah dimengerti dan enak dibaca. Sistematika penulisannya menurut susunan ayat-ayat di dalam muskhaf. Di samping itu penyajiannya tidak terlalu jauh dari gaya bahasa Al-Qur’an sehingga pendengar dan pembacanya seakan-akan masih tetap mendengar Al-Qur’an padahal yang didengarnya itu tafsirnya. Ketika menggunakan metode ini, para mufassir menjelaskan Al-Qur’an dengan bantuan sebab turun ayat (asbab an-nuzul), peristiwa sejarah, hadis nabi, atau pendapat ulama saleh.

b)  Kelebihan
-  Praktis dan mudah dipahami  oleh  ummat  dari berbagai  strata  sosial  dan  lapisan masyakat.
-  Bebas  dari  penafsiran  kemungkinan israiliah maka  tafsir ijmali  relatif murni  dan  terbebas  dari  pemikiran-pemikiran  Israiliat  dapat dibendung pemikiran-pemikiran yang kadang-kadang terlalu jauh dari pemahaman ayat-ayat al-Qur’an seperti pemikiran-pemikiran spekulatif .
-   Akrab dengan bahasa al-Qur’an: karena tafsir ini dengan metode global menggunakan bahasa yang singkat dan akrab dengan bahasa arab tersebut.

c)  Kelemahan
-  Menjadikan  petunjuk al-Qur’an bersifat parsial: padahal al-Qur’an merupakan satu-kesatuan yang utuh, sehingga satu ayat dengan ayat yang lain membentuk satu pengertian yang  utuh, tidak terpecah-pecah dan berarti, hal-hal yang global atau samar-samar di dalam suatu ayat, maka pada ayat yang lain ada penjelasan yang lebih rinci. Dengan menggabungkan kedua ayat tersebut akan diperoleh suatu pemahaman yang utuh dan dapat terhindar dari kekeliruan.
-  Tidak ada ruangan untuk mengemukakan analisis yang memadai: Tafsir yang memakai metode  ijmali  tidak menyediakan  ruangan untuk memberikan uraian yang luas, jika menginginkan  adanya  analisis  yang  rinci, metode global tak dapat diandalkan. Ini disebut suatu kelemahan yang disadari oleh mufassir yang menggunakan metode  ini.

d)  Contoh kitab tafsir ijmali
Di antara kitab-kitab tafsir dengan metode ijmali, yaitu tafsir al-Jalalain karya Jalal al-Din al-Suyuthy dan Jalal al-Din al-Mahally, Tafsir al-Qur’an al-’Adhin olah Ustadz Muhammad Farid Wajdy, Shafwah al-Bayan li Ma’any  al-Qur’an  karangan Syaikh Husanain Muhammad Makhlut,  al-Tafsir  al-Muyassar karangan Syaikh Abdul al-Jalil Isa, dan lain sebagainya.

e)   Ciri-ciri Metode Ijmali
Dalam metode ijmali seorang mufasir langsung menafsirkan Al-Qur’an dari awal sampai akhir tanpa perbandingan dan penetapan judul. Pola serupa ini tidak jauh berbeda dengan metode alalitis, namun uraian di dalam Metode Analitis lebih rinci daripada di dalam metode global sehingga mufasir lebih banyak dapat mengemukakan pendapat dan ide-idenya. Sebaliknya di dalam metode global, tidak ada ruang bagi mufasir untuk mengemukakan pendapat serupa itu. Itulah sebabnya kitab-kitab Tafsir ijmali seperti disebutkan di atas tidak memberikan penafsiran secara rinci, tapi ringkas dan umum sehingga seakan-akan kita masih membaca Al-Qur’an padahal yang dibaca tersebut adalah tafsirnya. Namun pada ayat-ayat tertentu diberikan juga penafsiran yang agak luas, tapi tidak sampai pada wilayah tafsir analitis.

2)  Metode Tahliliy (Analisis)

a)  Pengertian
Yang dimaksud dengan Metode Tahliliy (Analisis) ialah menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan memaparkan segala aspek yang terkandung di dalam ayat-ayat yang ditafsirkan itu serta menerangkan makna-makna yang tercakup di dalamnya, sesuai dengan keahlian dan kecenderungan mufasir yang menafsirkan ayat-ayat tersebut. Di mulai dari uraian makna kosokata, makna kalimat, maksut stiap ungkapan, kaitan antar pemisah sampai sisi-sisi keterkaitan antar pemisah itu dengan bantuan asbab an-nuzul, riwayat-riwayat yang berasal dari Nabi Muhammad SAW, sahabat, dan tabi’in. Prosedur ini dilakukan dengan mengikuti susunan mushaf, ayat per ayat dan surat per surat. Metode ini terkadang menyertakan pula perkembangan kebudayaan generasi Nabi sampai tabi’in , terkadang pula diisi dengan uraian-uraian kebahasaan dan materi-materi khusus lainnya yang kesemuanya ditujukan untuk memahami Al-Qur’an yang mulia.

b)  Kelebihan
-  Ruang lingkup yang luas: Metode analisis mempunyai  ruang  lingkup yang  termasuk  luas. Metode  ini dapat digunakan  oleh mufassir  dalam  dua  bentuknya; ma’tsur  dan  ra’y  dapat dikembangkan dalam berbagai penafsiran sesuai dengan keahlian masing-masing mufassir.

c)  Kelemahan
-  Menjadikan petunjuk  al-Qur’an parsial atau  terpecah-pecah,tidak  utuh  dan  tidak  konsisten karena penafsiran yang diberikan pada suatu ayat berbeda dari penafsiran yang  diberikan  pada  ayat-ayat  lain  yang  sama  dengannya. Terjadinya perbedaan, karena kurang memperhatikan ayat-ayat  lain yang mirip atau sama dengannya.
-  Masuknya  pemikiran Israiliat  sebab berbagai  pemikiran  mufassir dapat masuk ke  dalamnya,  tidak  tercuali  pemikiran  Israiliat Contohnya,  kitab tahlili seperti  dalam  penafsiran  al-Qurthubi  tentang penciptaan manusia pertama, termaktub di dalam ayat 30 surah al-Baqarah disini terselib cerita israiliyyat.

d)  Contoh kitab tafsir tahlili
Di antara kitab-kitab tafsir dengan metode ijmali antara lain :Ma’alim al- Tanzil(karya al -Baghawi), Tafsir Al-Qur’an al-‘Azhim (karya Ibn Katsir), Tafsir al-Khazin (karya al-Khazin),Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil (karya al -Baidhawy)

e)  Ciri-ciri Metode Tahlili
Pola penafsiran yang diterapkan para penafsir yang menggunakan metode tahlili terlihat jelas bahwa mereka berusaha menjelaskan makna yang terkandung di dalam ayat-ayat Al-Qur’an secara komprehenshif dan menyeluruh, baik yang berbentuk al-ma’tsur, maupun al-ra’yi, sebagaimana dalam penafsiran tersebut, Al-Qur’an ditafsirkan ayat demi ayat dan surat demi surat secara berurutan, serta tak ketinggalan menerangkan asbab al-nuzul dari ayat-ayat yang ditafsirkan. Penafsiran yang mengikuti metode ini dapat mengambil bentuk  ma’tsur  (riwayat) atau ra’y (pemikiran)

3)  Metode Muqaran (Komparatif/Perbandingan)

a)  Pengertian
Pengertian metode muqaran (komparatif) dapat dirangkum sebagai berikut :
• Membandingkan teks (nash) ayat-ayat Al-Qur’an yang memiliki persamaan atau kemiripan redaksi dalam dua kasus atau lebih, dan atau memiliki redaksi yang berbeda bagi satu kasus yang sama;
• Membandingkan ayat Al-Qur’an dengan Hadits Nabi SAW, yang pada lahirnya terlihat bertentangan;
•  Membandingkan berbagai pendapat ulama’ tafsir dalam menafsirkan Al-Qur’an.
Jadi metode tafsir muqaran adalah menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an dengan merujuk pada penjelasan-penjelasan para mufassir. Langkah  yang ditempuh ketika menggunakan metode ini adalah sebagai berikut:
1. Mengumpulkan sejumlah ayat Al-Qur’an
2. Mengemukakan penjelasan para mufassir, baik kalangan salaf atau kalangan khalaf, baik tafsirnya bercorak bi al-ma’tsur atau bi ar-ra’yi
3.  Membandingkan kecenderungan tafsir mereka masing-masing.
4.  Menjelaskan siapa saja yang mengemukakan tafsirannya dalam kelompok-kelompok.
Selain rumusan di atas, metode muqaran mempunyai pengertian lain yang lebih luas, yaitu membandingkan ayat-ayat Al-Qur’an yang berbicara tentang tema tertentu, atau mmbandingkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan hadits-hadits Nabi, termasuk dengan hadits-hadits yang makna tekstualnya tampak kontradiktif dengan Al-Qur’an, atau dengan kajian-kajian lainnya.

b)   Kelebihan
-  Memberikan wawasan penafsiran yang  relatif  lebih  luas  kepada  pada  pembaca  bila  dibandingkan  dengan metode-metode lain. Di dalam penafsiran ayat al-Qur’an dapat ditinjau dari berbagai disiplin  ilmu pengetahuan sesuai dengan keahlian mufassirnya,
-  Membuka pintu untuk selalu bersikap toleransi terhadap pendapat orang lain yang kadang-kadang jauh berbeda dari pendapat kita dan tak mustahil ada yang kontradiktif. Dapat mengurangi fanatisme yang berlebihan kepada suatu mazhab atau aliran tertentu,
-  Tafsir dengan metode ini amat berguna bagi mereka yang ingin mengetahui berbagai pendapat tentang suatu ayat,

c)  Kelemahan
-  Penafsiran dengan memakai metode ini tidak dapat diberikan kepada pemula yang baru mempelajari tafsir,karena pembahasan yang dikemukakan di dalamnya terlalu luas dan kadang-kadang ekstrim,
-  Metode  ini kurang dapat diandalkan untuk menjawab permasalahan sosial yang  tumbuh di  tengah masyarakat, karena metode ini lebih mengutamakan perbandingan dari pada pemecahan masalah

d)  Contoh kitab tafsir Muqaran
Adapun kitab-kitab yang menggunakan metode Muqaran diantaranya adalah: Kitab Durrah al-Tanzil wa al-Gurrah al-Ta‘wil karya al-Iskafi, mengkaji perbandingan antara ayat dengan ayat, Jami‘ Ahkam al-Qur’an karya al-Qurtubi, kitab ini membandingkan penafsiran para mufassir.

e)  Ciri-ciri Metode Muqaran
Perbandingan adalah ciri utama bagi Metode Komparatif. Disini letak salah satu perbedaan yang prinsipil antara metode ini dengan metode-metode lain. Hal ini disebabkan karena yang dijadikan bahan dalam memperbandingkan ayat dengan ayat atau ayat dengan hadits, adalah pendapat para ulama tersebut dan bahkan dalam aspek yang ketiga. Oleh sebab itu jika suatu penafsiran dilakukan tanpa membandingkan berbagai pendapat yang dikemukakan oleh para ahli tafsir, maka pola semacam itu tidak dapat disebut “metode muqaran”.




4)  Metode Maudhu’iy (Tematik)

a)  Pengertian
Yang dimaksud dengan metode mawdhu’iy ialah membahas ayat-ayat Al-Quran sesuai dengan tema atau judul yang telah ditetapkan. Semua ayat yang berkaitan, dihimpun. Kemudian dikaji secara mendalam dan tuntas dari berbagai aspek yang terkait dengannya seperti asbab al-nuzul, kosa kata dan sebagainya. Semuanya dijelaskan secara rinci dan tuntas, serta didukung oleh dalil-dalil atau fakta yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah baik argumen itu berasal dari Al-Qur’an dan Hadits, maupun pemikiran rasional.

b)  Kelebihan
-  Menghindari problem atau kelemahan metode lain
- Menafsirkan ayat dengan ayat atau hadits Nabi, satu cara terbaik dalam menafsirkan al-Qur’an
-  Kesimpulan yang dihasilkan mudah dipahami
- Metode ini  memungkinkan seseorang untuk  menolak anggapan adanya ayat-ayat  yang  bertentangan  dalam  al-Quran,  sekaligus  membuktikan bahwa  ayat-ayat   al-Qur’an   sejalan   dengan   perkembangan   ilmu pengetahuan dan masyarakat.

c)  Kekurangan
-  Kesullitan dalam memenggal ayat al-Qur’an: Yang dimaksud memenggal ayat al-Qur’an ialah suatu kasus yang terdapat di dalam suatu ayat atau lebih mengandung banyak permasalahan yang berbeda. Misalnya, petunjuk tentang shalat dan zakat. Biasanya kedua ibadah itu diungkapkan bersama dalam satu ayat. Apabila ingin membahas kajian tentang zakat misalnya, maka mau tidak mau ayat tentang shalat harus di tinggalkan ketika menukilkannya dari mushaf agar tidak mengganggu pada waktu melakukan analisis.
-  Membatasi pemahaman ayat: Dengan diterapkannya judul penafsiran, maka pemahaman suatu ayat menjadi terbatas pada permasalahan yang dibahas tersebut. Akibatnya mufassir terikat oleh judul itu.

d)  Contoh kitab tafsir Maudhu’i
Di antara kitab-kitab tafsir dengan metode Maudhu’i, yaitu :Al-Mar’ah fi Al-Qur’an Al-Karim (karya Abbas Al-Aqqad), Ar-Riba fi Al-Qur’an Al-Karim (karya Abu A’la Al-Maududi), Al-Aqidah fi Al-Qur’an Al-Karim (karya Muhammad Abu Zahrah), Al-Insan fi Al-Qur’an Al-Karim (karya DR. Ibrahim mahnan), Washaya surat al-isra’ (karya DR. Abd Al-Hayy Al-Farmawi).

e)  Ciri-ciri Metode Maudhu’i
Yang menjadi ciri utama metode ini ialah menonjolkan tema, judul atau topik pembahasan sehingga tidak salah bila di katakan bahwa metode ini juga disebut metode “topikal”. Jadi mufasir mencari tema-tema atau topik-topik yang ada di tengah masyarakat atau berasal dari Al-Qur’an itu sendiri, ataupun dari yang lain. Kemudian tema-tema yang sudah dipilih itu dikaji secara tuntas dan menyeluruh dari berbagai aspek, sesuai dengan kapasitas atau petunjuk yang termuat di dalam ayat-ayat yang ditafsirkan tersebut. Artinya penafsiran yang diberikan tak boleh jauh dari pemahaman ayat-ayat Al-Qur’an, agar tidak terkesan penafsiran tersebut berangkat dari pemikiran atau terkaan belaka (al-Ra’y al-Mahdh). Sementara itu Prof. Dr. Abdul Hay Al-Farmawy seorang  guru besar pada Fakultas Ushuluddin Al-Azhar, dalam bukunya Al-Bidayah fi Al-Tafsir Al-Maudhu’i mengemukakan secara rinci langkah-langkah yang hendak ditempuh untuk menerapkan metode maudhu’i. Langkah-langkah tersebut adalah :
•  Menetapkan masalah yang akan dibahas (topik).
•  Menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah tersebut.
• Menyusun runtutan ayat sesuai dengan masa turunnya, disertai pengetahuan tentang asbab al-nuzulnya.
•  Memahami korelasi ayat-ayat tersebut dalam surahnya masing-masing.
•  Menyusun pembahasan dalam kerangka yang sempurna (out-line).
•  Melengkapi pembahasan dengan hadits-hadits yang relevan dengan pokok bahasan.
• Mempelajari ayat-ayat tersebut secara keseluruhan dengan jalan menghimpun ayat-ayatnya yang mempunyai pengertian yang sama, atau mengkompromikan antara yang ‘am (umum) dan yang  khas (khusus), mutlak dan muqayyad (terikat), atau yang pada lahirnya bertentangan, sehingga kesemuanya bertemu dalam satu muara, tanpa perdebatan atau pemaksaan.


*Selamat Belajar, Rajin adalah kunci sukses kita untuk masa depan*

No comments:

Post a Comment